Kamis, 09 Oktober 2014

wawasan kebangsaan

URGENSI KEWASPADAAN NASIONAL DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA [1]

Oleh : Mayjen TNI (Purn) Putu Sastra Wingarta, S.IP,M.Sc[2]

Pendahuluan
” …dalam delapan tahun terakhir ini, ditengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain. Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis”[3].
Inilah penggalan pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ketika memperingati hari lahir Pancasila tanggal 1 Juli 2006 lalu. Pidato ini merupakan representatif dari sebuah kesadaran bahwa di era reformasi yang ditandai dengan demokratisasi justru kehidupan nasional Indonesia semakin menjauh dari nilai-nilai kebangsaan. Walaupun pidato itu sudah berlangsung lebih dari 5 tahun, namun atmosfer itu pada penggal-penggal waktu dan tempat tertentu masih terasa hingga sekarang. Euforia reformasi telah menjadikan kehidupan nasional Indonesia salah arah, kebablasan, kehilangan kompas, dan mengabaikan kewaspadaan nasional dari berbagai bentuk ancaman yang menghadangnya. Kondisi seperti  ini dirasakan sudah lebih dari satu dasa warsa ditengah hirup pikuk, kebisingan dan kegaduhan demokratisasi. Demokrasi dianggap seakan hanya sebuah tujuan dari suatu kebutuhan  kehidupan nasional yang dianggap juga sudah tidak lagi membutuhkan rambu-rambu, pedoman dan atau  sikap yang disebut kewaspadaan nasional. Kedepan, kondisi ini seharusnya segera diakhiri, agar kehidupan nasional kembali kepada relnya yang benar, sesuai dengan kesepakatan nasional – 4 pilar kebangsaan. Kondisi ini juga harus segera diakhiri, sebelum disintegrasi bangsa semakin mendekat didepan mata, karena kualitas kewaspadaan nasional kita semakin rendah. Bersyukur, akhir-akhir ini semakin berkumandang kerinduan terhadap kesepakan nasional itu- kerinduan dan kesadaran terhadap 4 pilar kebangsaan meliputi; Pancasila, UUD 1945, sesanti Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, sebagai bentuk dari kesadaran terhadap kewaspadaan nasional.

Tentang Kewaspadaan Nasional dan Persepsi Terhadap Ancaman

Apa itu Kewaspadaan Nasional atau Padnas ?
Kewaspadaan Nasional atau Padnas adalah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan nasionalnya — kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya dari suatu ancaman. Padnas juga sebagai suatu kualitas kesiapan dan kesiagaan yang harus dimiliki olah bangsa Indonesia untuk mampu mendeteksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Padnas dapat juga diartikan sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa Indonesia terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa/NKRI. Oleh karena itu Padnas harus bertolak dari keyakinan ideoligis dan nasionalisme yang kukuh serta perlu didukung oleh usaha-usaha pemantauan sejak dini dan terus menerus terhadap berbagai implikasi dari situasi serta kondisi yang berkembang baik didalam maupun di luar negeri.
Sejarah Singkat Perjalanan Pelaksanaan Padnas yang dilakukan sejak orde baru sampai era reformasi saat ini:
  • Tap MPR RI No XXV /MPRS/1966 tentang pembubaran PKI
Ketetapan inilah yang mencanangkan bahwa komunisme adalah bahaya latent bagi bangsa Indonesia. Sebuah persepsi terhadap ancaman terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pasca Orde Baru, Tap MPR ini sempat menjadi polemik pro – kontra menyangkut keinginan sebagian masyarakat dan elite bangsa untuk mencabut Tap tersebut. Alasannya HAM. Namun berdasarkan UU No 27/1999 tentang kejahatan terhadap negara, maka jelaslah bahwa bangsa Indonesia masih tetap mewaspadai bahaya latent Komunisme.[4]
  • Tap MPR RI No II/MPR/1978 tentang P.4
Ketetapan inilah yang menggiring bangsa Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ideology Pancasila, agar komunisme tidak berkembang di Indonesia.
  • Inpres No 10 th 1982 tentang konsepsi Kewaspadaan Nasional.
Ketetapan inilah yang dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan kewaspadaan nasional, walau dalam pelaksanaannya lebih menitik beratkan pada bahaya latent komunisme, karena Inpres ini mengacu dari Tap MPRS No. XXV/1966. Pada Era Orde Baru bentuk konkritnya , konsepsi ini disosialisasikan melalui Penataran Kewaspadaan Nasional ( Tar Pad Nas ).
  • Tap MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang dicabutnya Tap MPR RI No II/MPR/1978 tentang P.4
Ketetapan ini lahir di awal-awal era reformasi. Dicabutnya ketetapan ini tidak terlepas dari suasana kebatinan bangsa saat itu yang menganggap bahwa pelaksanaan P4 ( Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila ) sudah mengalami distorsi, karena kenyataan pelaksanaan teori – teori dalam P4 berbeda jauh dengan pelaksanaan dilapangan. Sejak diberlakukannya ketetapan ini jugalah terjadi peminggiran terhadap Pancasila, sebuah ideology yang  di sepakati berdasarkan amanat dalam pembukaan UUD 45. Sejak diberlakukannya ketetapan ini jugalah kembali muncul berbagai wacana untuk mencari ideology  alternatif  pengganti Pancasila[5].
  • KepPres No.38 th 2000 tentang pembubaran Bakorstanas yang membina kewaspadaan nasional.
Ketetapan ini lahir tidak terlepas dari penilaian yang menganggap bahwa lembaga ini adalah lembaga pemerintahan otoriter yang sangat menghambat tumbuhnya demokrasi, karena lembaga ini sangat mengedepankan pendekatan keamanan dengan berbagai pembatasan-pembatasan terhadap civil society. Sosialisasi kewaspadaan nasional untuk mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dalam rangka penciptaan keamanan yang dilakukan oleh lembaga ini menjadikan anggapan lembaga ini sebagai momok demokratisasi. Akibatnnya, pembinaan terhadap kewaspadaan nasional menjadi tidak punya wadah serta tidak punya arah ditengah-tengah lingkungan strategis yang semakin kompleks.
  • Surat Pang TNI No. B/1305/14/23/SET tanggal 27 juni 2000 tentang dialihkannya tanggung jawab Tar Pad Nas kepada Depdagri
Ketetapan inilah yang menjadikan Depdagri mengambil alih tugas-tugas pembinaan  kewaspadaan nasional dengan melakukan sosialisasi tentang potensi ancaman disintegrasi bangsa ditengah-tengah badai multi krisis bangsa.
  • Kep Mendagri No, 40 th 2001 tentang penugasan kepada Dirjen Kesatuan Bangsa untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi tehnis dibidang kesatuan bangsa.
Ketetapan inilah yang menjadikan Depdagri harus merumuskan konsepsi implementasi kewaspadaan nasional yang pada gilirannya diharapkan mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
  • SE Mendagri No. 8933/2877/SE tanggal 16 Desember 2002 tentang pelaksanaan kegiatan penataran Ketahanan Bangsa
Surat inilah yang diharapkan mampu menjadi dasar sosialisasi kewaspadaan nasional untuk muara kesatuan bangsa dan ketahanan bangsa dari berbagai bentuk ancaman.
  • Pasal 7 PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Pasal 7 PP 38/2007 ini, menjadi semacam payung hukum yang sangat strategis bagi pemerintahan di tingkat pusat sampai dengan daerah dalam melakukan kewajibannya untuk waspada terhadap berbagai bentuk ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara, pada tataran nasional maupun masing-masing daerah.
Persoalan muncul, ketika reformasi disikapi secara berlebihan, sosialisasi kewaspadaan nasional dituduh sebagai manuver pemerintah untuk kembali kepada cara –cara orde baru dalam mengendalikan perpolitikan nasional yang bergaya doktriner, sehingga sebagian masyarakat begitu alergi mendengar kewaspadaan nasional yang sejatinya adalah bentuk upaya pemerintah mengajak masyarakat bangsanya agar lebih waspada terhadap ancaman yang ada yang mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya kedepan. Ancaman yang dihadapi tidak lagi hanya pada ranah ideologi dan politik saja. Ranahnya seluruh aspek kehidupan yang menyentuh ranah geografi, demografi, SKA, ideologi, politik, ekonomi, budaya dan keamanan (hankam). Ancaman yang dihadapi, tidak lagi ancaman tradisional belaka, tetapi sudah non tradisional, tidak lagi yang simetrik semata, tetapi sudah asymetric.
Persepsi Terhadap Ancaman
Dephan (Kemhan) RI telah merumuskan ( buku putih) hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dimana dis integrasi adalah ancaman untuk kepentingan strategis pertahanan Indonesia.[6] Di era globalisasi ini, seyogyanyalah ancaman diartikan sebagai sebuah kondisi, tindakan, potensi, baik alamiah atau hasil suatu rekayasa, berbentuk pisik atau non pisik, berasal dari dalam atau luar negeri, secara langsung atau tidak langsung diperkirakan atau diduga atau yang sudah nyata yang dapat membahayakan tatanan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam rangka pencapaian tujuan nasionalnya. Pengertian ini sudah tentu diharapkan sebagai pengertian yang mencakup arti ancaman,gangguan,hambatan dan tantangan yang pernah kita acu saat era orde baru dulu.
Ancaman itu sendiri dapat berasal dari luar maupun dalam negeri.  Kedua-duanya selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Ancaman (keamanan) tradisional yang datangnya dari luar negeri adalah invasi atau agresi dari negara lain. Berdasarkan perkiraan, ancaman dalam bentuk ini kecil kemungkinannya. Oleh karena itu perkiraan ancaman yang lebih memungkinkan adalah ancaman non tradisional (non traditiopnal threat) atau “non military security threat” atau “non conventional security threat” [7] yaitu setiap aksi yang mengancam kedaulatan negara , keutuhan wilayah , serta keselamatan bangsa dan negara kesatuan RI – ancaman terhadap wawasan nusantara.[8] Ancaman yang paling mungkin dari luar negeri terhadap Indonesia adalah kejahatan yang terorganisir yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara untuk memperoleh keuntungan dengan memanipulasi kondisi dalam negeri dan keterbatasan aparatur pemerintah.
Globalisasi melahirkan pemahaman baru menyangkut keamanan (security). Istilah “comphrehensive security” muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dingin sekitar tahun 1988, yang berseberangan dengan harapan masyarakat dunia yang mengharapkan dengan optimisme munculnya perdamaian internal dan antar Negara, berkurangnya kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali PBB. Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh “non state actors” seperti perang saudara, genosida, konflik berdasar identitas, terorisme yang dipacu oleh frustasi akibat perasaan-perasan kesenjangan ekonomi,ketidak adilan, “xenophobia”, ketidakamaan akibat globalisasi , separasi politik, tuntutan solidaritas agama, yang dimanipulasi oleh kaum ekstremis, fanatic, fundamentalis dan kelompok radikalis (Muladi,2006)
Prof Muladi mengidentifikasi secara nasional bahaya-bahaya yang mengancam Wawasan Nusantara dalam arti fisik dan sosial antara lain :[9]
  • Ikatan premordial yang semakin menajam akibat Globalisasi dan bagi yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mencari ”traditional shelter”.
  • Dampak multi dimensional Globalisasi dengan meningkatnya ICT Technology, sehingga sulit mengontrol pengaruh budaya, ideas/ideology, manusia, informasi melewati batas wilayah negara yang tidak jarang berseberangan dengan kepribadian bangsa.
  • Bahaya-bahaya yang diakibatkan oleh ”non traditional/ non military security threat” seperti kejahatan transnational terorganisasi (perdagangan senjata api, imigran gelap, narkotika, money laundering,illegal fishing, illegal loging,illegal mining, campur tangan elemen-elemen asing dalam gerakan separatisme,terrorisme yang dimotori oleh radikalisme yang bersifat transnasional, pembuangan limbah beracun/B3, penyakit menular,konflik horizontal yang tidak jarang mengundang solidaritas kelompok-kelompok asing dan lain-lain).
  • Kordinasi pemerintah pusat dan daerah yang masih perlu ditingkatkan.
  • Otonomi daerah yang sering ditafsirkan sebagai pembagian kekuasaan.[10]
  • Belum berkembangnya alternatif energi yang terbarukan.
  • Melemahnya kesadaran terhadap ideologi bangsa dan karakter nasional lainnya.
  • Ikatan primordial yang yang menonjol kembali.
  • Penegakan supremasi hukum yang belum memuaskan.
  • Partai-partai politik yang belum melaksanakan perannya dengan baik sesuai dengan Undang-Undang.
  • Implikasi pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan yang bersifat dikotomis dengan segala implikasinya.
  • Berkembangnya doktrin ”pre-emtive strike” atau ”anticipatory self defence” setelah peristiwa 9/11.
  • Analisis kecenderungan Global sampai 2015 yang cukup memprihatinkan, baik yang berkaitan dengan aspek demografi, kekayaan alam dan lingkungan, sain dan teknologi, ekonomi global dan globalisasi, kepemerintahan nasional dan internasional,konflik mendatang maupun peranan negara-negara maju.
Kofi Annan pada laporannya semasa menjabat SekJen PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama (six clusters of threat) yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu ancaman social ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi lingkungan, konflik antar Negara, konflik internal Negara termasuk perang saudara, genosida dan kekejaman bersekala besar lainnya, senjata nuklir, radiology, kimia dan biologi, terorisme dan kejahatan lintas Negara terorganisasi (TOC) (Annan,2005). Selain itu, hal penting berkaitan dengan masa depan hidup kita, suatu istilah yang digunakan oleh Canton dalam bukunya The Extreme Future. Dikatakan bahwa;
“ Saat ini, kita sedang menghadapi masa depan pasca 9/11. Masa depan hidup kita , pekerjaan, bisnis – pendek kata , masa depan dunia kita – sangat tergantung akan kemampuan kita memperoleh pemahaman baru tentang perubahan-perubahan gamang yang ada didepan kita. Saya akan menyebut usaha untuk memperoleh pemahaman baru ini dengan kesiapan menghadapi masa depan (future-readiness).
Lima faktor penentu masa depan ekstrem meliputi : Pertama, Kecepatan. Rata-rata perubahan yang terjadi amat cepat tak terlihat, sangat menyeluruh dan menyentuh setiap aspek , Kedua, Kompleksitas, yaitu lompatan kuantum dalam angka-angka kekuatan yang sepertinya tak saling terkait akan mempengaruhi mulai dari gaya hidup, pekerjaan,pribadi hingga keamanan nasional, Ketiga, Resiko. Berbagai resiko baru, resiko yang lebih tinggi dan ancaman-ancaman besar lainnya mulai dari teror, kejahatan,sampai kemerosotan ekonomi global akan mengubah setiap sendi kehidupan anda, Keempat, Perubahan. Penyesuaian drastis terhadap pekerjaan, komunitas dan hubungan yang anda miliki akan mendorong anda untuk beradaptasi secara cepat terhadap perubahan-perubahan radikal serta. Kelima, Kejutan-kejutan yang terkadang memang baik, namun tak jarang pula diluar imajinasi, akan menjadi bagian kehidupan sehari-hari anda. Sering kejutan ini berada di luar kemampuan indra dan logika” (Canton,2009).

Tentang Integrasi Nasional
Sesungguhnya lambang negara kita burung Garuda Pancasila yang mencekeram pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika, adalah sebuah peringatan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk waspada terhadap integrasi nasional. Kata-kata Bhineka Tunggal Ika yang berarti ” kemajemukan itu sejatinya satu”. memberi peringatan kepada seluruh anak bangsa  agar setiap saat mewaspadai persatuan dan kesatuan bangsa agar tetap dijaga dan dipelihara sehingga integrasi nasional bangsa Indonesia terpertahankan dengan baik, menuju cita – cita nasionalnya.
Beberapa saat setelah memasuki era reformasi, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bingkai paham nasionalisme terasa semakin kehilangan arahnya dalam hubungannya dengan upaya mencapai cita-cita dan tujuan nasional seperti diamanatkan dalam pembukaan UUD 45. Ironisnya, kondisi yang kita rasakan bersama itu kita maklumi dengan alasan euforia atau karena masa transisi konsolidasi demokrasi. Padahal kelahiran era reformasi adalah bentuk konkrit dari kewaspadaan rakyat Indonesia akan deviasi arah perjalanan bangsa yang diawaki oleh Orde Baru.  Pada saat ini ketika reformasi sudah kita jalankan sedemikian lama , wawasan kebangsaan kita terasa masih memprihatinkan kalau tak mau dikatakan menurun, yang apabila tidak diwaspadai dikhawatirkan akan melahirkan sebuah disintegrasi bangsa. Cukup banyak indikator yang menunjukkan secara kualitas maupun kuantitas penurunan itu. Walau demikian, ditengah kekhawatiran akan penurunan itu, sepantasnya kita bersyukur, bahwa nasionalisme anak bangsa ini sejatinya masih dapat diandalkan apabila para penyelenggara negara mampu mengelolanya dengan baik.
Konsepsi Nation
Harus diakui bahwa integrasi nasional secara utuh/bulat masih jauh dari jangkauan ideal maka secara berkala harus ada upaya untuk menelusuri dan mengkaji secara kritis kualitas integrasi tersebut, baik dari pendekatan  normatif, koersif maupun fungsional.
Diartikan bahwa pendekatan integratif normatif adalah integrasi yang dilakukan oleh pemerintah yang kurang menghargai proses budaya, yang alamiah  tetapi lebih bersifat memaksa. Pendekatan koersif mengandung pengertian penggunaan cara kekerasan, cara ideologis serta tekanan-tekanan fisik dan budaya dalam menyatukan bangsa. Sedangkan pengertian pendekatan fungsional adalah pemanfaatan saling ketergantungan fungsional antar daerah, golongan, yang ada dalam negara. Secara singkat dapat disimpulkan prasyarat bagi terwujudnya integrasi bangsa antara lain :
  •     Adanya pemahaman dan kesadaran serta tekad  bersatu sebagai bangsa Indonesia dalam wadah NKRI dari Sabang sampai dengan Meraoke berlandaskan Pancasila.
  • Adanya pemahaman dan kesadaran serta kesepakatan tentang cita cita dan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45.
  • Terwujudnya kesejahteraan dan keamanan yang berkeadilan diseluruh wilayah Indonesia. Tanpa kesejahteraan yang berkeadilan sulit diciptakan kondisi keamanan, sebaliknya tanpa kondisi keamanan yang kondusif pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan sukar dilaksanakan.
Sesungguhnya awal terbentuknya Indonesia sebagai bangsa dalam wadah NKRI yang dilakukan oleh bapak dan ibu pendiri Bangsa (founding fathers) kita  tidak terlepas dari pengeterapan kensepsi nation dari ERNEST RENAN  dan OTTO BAUER.
Renan mengatakan bahwa:
sebuah bangsa adalah satu solidaritas yang besar  yang tidak harus memerlukan satu bahasa, satu agama atau satu turunan yang menjadi pengikat. Yang paling penting adalah pengikat jiwanya berkehendak untuk hidup bersama.”
Otto Bauer mengatakan bahwa:
 bangsa adalah satu persamaan, suatu persatuan karakter, watak yang tumbuh dan lahir karena kesamaan pengalaman.”
Dengan demikian konsepsi nation yang digunakan oleh founding fathers  kita adalah nation yang berarti suatu entitas politik yang terdiri dari warga negara yang walaupun berbeda latar belakang ras, etnik, agama, budaya, golongan satu sama lain, namun punya kehendak yang kuat untuk bersatu, dibawah payung negara nasional dan didalam suatu wilayah yang jelas batas-batasnya. ( Bung Karno menambahkan  bahwa geopolitik adalah hubungan antara letak tanah dan air dengan rasa dan kehidupan politiknya )
Integrasi nasional tidak mungkin terbentuk begitu saja tanpa integrasi setiap komponen negara maupun integrasi antar komponen negara. Nation tumbuh dan dibentuk secara sadar dan bertahap sebagai komunitas politik modern yang memayungi berbagai komunitas primordial, dengan tujuan sebagai sarana dan wahana kolektif untuk mewujudkan masa depan bersama baik dalam bidang kesejahteraan maupun bidang keamanan. Selain itu pengalamam sejarah yang sama sebagai collective memory memperkuat kebangsaan tersebut. Nation adalah sosio psikologi, landasan sosio kultural serta landasan sosio politik yang diperlukan untuk terbentuknya negara nasional. Sebaliknya negara nasional merupakan subyek utama hukum internasional yang ideal bagi eksistensi nasion. Satu nasion akan sengsara tanpa negara, dan negara akan labil tanpa dukungan nation.
Oleh karena itu sesungguhnya integrasi nasional menuntut :
  • Perlakuan persamaan hak bagi semua dan setiap warga negara. Ini berarti bahwa integrasi bangsa hanya akan terlaksana dengan baik selama ada jaminan bahwa hak-hak dasar serta martabat warga negara dihormati dan tidak diingkari diperkosa ataupun dilecehkan. Artinya tanpa jaminan itu integrasi menjadi lemah.
  • Jaminan keadilan bagi semua dan setiap warga negara dan berlaku baik secara vertikal maupun horizontal. Adanya fairness bisa menjadi kunci utama dalam usaha merelialisasikan keadilan dalam kehidupan sosial, baik dalam bentuk keadilan komutatif maupun distrubutif.
  • Dukungan pastisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara. Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai kedaulatan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat perlu dihidupkan kembali secara nyata dengan harapan munculnya komitmen sosial setiap warga dalam karya bersama demi terwujudnya cita-cita .
  • Setiap keterbukaan yang membuka perspektif luas serta mampu membuka jalan untuk kesempatan belajar lebih banyak dan mengembangkan potensi dan kekuatan bangsa. Sikap keterbukaan akan semakin bermakna terutama bagi masyarakat yang pluralistik, khususnya dalam rangka menumbuhkan saling pengertian, saling menghormati, dialog dan kerja sama.
Dukungan masyarakat terhadap integrasi nasional akan menguat apabila integrasi nasional tersebut bukan saja memberikan harapan hidup yang lebih baik dimasa depan tetapi juga secara nyata lebih memperbaiki taraf hidup masyarakat sehari-hari betapun kecilnya. Sedangkan penolakan terhadap integrasi nasional akan semakin keras apabila jika kehidupan berbangsa dan bernegara bukan saja tidak memperbaiki taraf hidup rakyat tetapi justru menyengsarakan dan menghina identitas sosial kultural, adat serta kehidupannya.[11]
Nasionalisme dan peranannya dalam Integrasi nasional
Proses integrasi nasional ( Indonesia) perlu didukung oleh ideologi nasionalisme. Dalam suatu bangsa yang masyarakatnya secara sosiokultural majemuk seperti Indonesia, ideologi nasionalisme perlu memberikan jawaban ideologis serta arahan terhadap strategi yang akan dianut dalam integrasi nasional. Nasionalisme merupakan suatu ideologi yang memiliki kekuatan pengaruh yang menggerakkkan perasaan menjadi bagian dari sesuatu dan berfungsi membangun perasaan bagi satu komunitas nasional. Nasionalisme adalah paham nation atau paham kebangsaan.
Menurut sejarahnya bagi Indonesia nasionalisme adalah counter ideologi terhadap kolonialisme, counter terhadap konservatisme serta statusquoisme kolonialisme. Maka tidaklah heran apabila pada awalnya nasionalisme kita sering bersifat radikalistik bahkan revolusioner. Oleh karena itu nasionalisme Indonesia sulit dipahami tanpa pendalaman dan pembekalan pengetahuan tentang latar belakang sejarah kolonialisme di bumi Nusantara.
Sesungguhnya nasionalisme di bumi Nusantara telah mengembrio sejak Boedi Utomo tahun 1908, lalu menemukan prinsip-prinsipnya pada Soempah Pemoeda 1928 dan terkristalisasi dalam cita-cita konkrit menuju Indonesia merdeka dan menemukan puncaknya pada proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan cita-cita nasional. Sejarah mencatat bahwa nasionalisme Indonesia mengalami pasang surut serta tiada henti menghadapi berbagai tantangan dan ancaman baik diera Sukarno maupun Suharto termasuk era Habiebie, Gus Dur Megawati maupun Presiden SBY saat ini. Ancaman latennya adalah mengarah kepada Dis Integrasi. Kondisi ini benar-benar harus diwaspadai.

Bagaimana kondisi kita saat ini.
Tanpa perlu diuraikan secara ditail, kita semua tahu dan merasakan tentang kondisi bangsa dan negara kita saat ini. Kondisi itu menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Akumulasinya adalah rasa aman dan nyaman dalam menjalani kehidupan nasional sehubungan dengan potensi ancaman yang dihadapi.[12] Tindakan-tindakan kekerasan selain terrorisme, masih marak di era reformasi; era demokratisasi yang masih membawa dampak ikutan kegaduhan, kebisingan dan kekacauan sosial. Di era reformasilah kita sempat alergi menyebut Pancasila – lalu  membubarkan BP7, mencabut Tap MPR II/1978 tentang P4 yang dianggap menjadi biang keladi rusaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya justru di era reformasilah kita merasakan kegaduhan dan kebisingan demokratisasi itu, walau demokrasi itu memang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat sipil. Diberbagai tempat di wilayah Indonesia, bentuk-bentuk kekerasan masih terjadi, baik antar masyarakat dengan masyarakat lainnya;antara masyarakat dengan aparat;bahkan antara aparat yang satu dengan aparat lainnya. Tindakan kekerasan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Bentrok antar mahasiswa, antar pendukung calon bupati, wali kota, gubernur dan sejenisnya dalam Pilkada, juga bentrok anatara rakyat dengan pengusaha seperti di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan serta rakyat dengan aparat di Bima NTB yang selalu membawa korban jiwa.
Dephan RI telah mengeluarkan buku putih yang menidentifikasi tentang ancaman yang telah, sedang dan akan kita hadapi ditinjau dari aspek pertahanan meliputi ancaman terrorisme internasional, separatisme, radikalisme, konflik komunal, kejahatan batas negara, imigran gelap, keamanan laut, keamanan udara, dan bencana alam. Apabila kita sepakat bahwa kesemua ancaman itu sebagai sesuatu yang tidak bisa terlepas dari motifasi dan pengaruh aspek – aspek kehidupan yang lainnya seperti aspek ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya, maka ancaman yang teridendifikasi itu adalah sebuah akumulasi yang akan membawa pengaruh terhadap kualitas ketahanan nasional kita. Di era otonomi daerah, kualitas ketahanan nasional kita akan sangat tergantung dari kualitas ketahanan masing-masing daerah. Kualitas wawasan kebangsaan kita pada skala nasionalpun akan sangat tergantung dari kualitas wawasan kebangsaan kita pada masing-masing daerah. Inilah korelasi penting yang harus dipahami, bahwa wawasan kebangsaan, ketahanan nasional, ideologi nasional dan kewaspadaan nasional kita terhadap ancaman satu dengan yang lainnya saling pengaruh mempengaruhi. Ujung-ujungnya kualitas integrasi nasional kita.
Wawasan Kebangsaan Kita
Berbicara masalah wawasan Kebangsaan, berarti kita akan kembali berbicara masalah nasionalisme. Suatu paham yang dibangun dari konsepsi nation yang melahirkan bangsa baru. Konsepsi nation atau bangsa Indonesia, melekat pada asas bahwa sekalipun bangsa ini terdiri dari bermacam-macam kemajemukan tetapi semuanya terikat dalam satu ke Indonesiaan. Atas dasar itu bangsa Indonesia sepakat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika – ideologi Pancasila.
Pada hakekatnya nasionalisme itu sendiri mengandung unsur-unsur wawasan, paham dan semangat kebangsaan. Satu dan lainnya saling berpengaruh dan tergantung. Kesamaan paham akan membawa pengaruh terhadap kesamaan wawasan maupun semangat. Begitu juga sebaliknya antara satu dengan yang lainnya. Kesenjangan antara satu dengan yang lainnya akan berpengaruh terhadap kualitas dari nasionalisme itu sendiri. Kita bangsa Indonesia, memang sudah memiliki paham nasional yang kita sebut dengan Pancasila. Kita juga sudah punya wawasan kebangsaan yang kita sebut dengan wawasan Nusantara. Kitapun seharusnya punya semangat kebangsaan, semangat mencintai dan membela negara Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kualitas dari nasionalisme itu saat ini. Pertanyaan yang sulit dan relatif untuk dapat dijawab, namun sebetulnya apabila kita masih memiliki kesamaan pandangan, melihat kondisi sehari-hari dari kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pertanyaan itu begitu mudah untuk dijawab dengan kata-kata “memprihatinkan“. Walau saat ini (2012); sudah 84 tahun sejak Sumpah Pemuda di kumandangkan tanggal 28 Oktober 1928 dulu;  tidak  menjadikan jaminan kualitas nasionalisme kita semakin baik. Justru akhir-akhir ini; setelah 8 tahun era reformasi; era otonomi daerah, kualitas nasionalisme kita dirasakan semakin mundur dengan beberapa indikatornya. Yang paling menonjol menguatnya primordialisme, kondisi yang bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda yang mengusung kesadaran akan nilai-nilai Persatuan dalam nasionalisme ke Indonesiaan.Hal inilah yang harus kita waspadai karena memicu lahirnya dis integrasi bangsa yang menempatkan kita semakin jauh menuju cita-cita nasional.
Dengan demikian, hal yang kita waspadai itu harus ditemukan akar penyebabnya secara akurat, lalu dilakukan langkah-langkah strategis untuk memperbaikinya. Sebagai renungan yang dapat dijadikan bahan untuk didiskusikan, penyebab itu semua karena kita mengalami kesenjangan yang sangat dipelbagai aspek kehidupan menyangkut aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya ,pertahanan dan keamanan termasuk kesenjangan hukum, yang berimplikasi pada lemahnya ketahanan nasional kita.
Kewaspadaan Nasional terhadap berbagai kesenjangan sosial berkaitan langsung dengan kualitas nasionalisme. Presiden SBY mengatakan bahwa;
”Nasionalisme masa kini adalah membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Nasionalisme, kebanggaan kepada bangsa sendiri, harkatnya, martabatnya, kemuliaannya, itu dapat tercapai jika bangsa kita tidak lagi banyak yang miskin dan terbelakang. Dikatakan disitu, demokrasi tidak akan hidup subur tanpa kesejahteraan dan keadilan sosial. Jangan kita mengabsolutkan dan mendewakan demokrasi. Demokrasi itu sendiri harus bergandengan, tidak boleh jalan sendiri dan mesti hidup bersama-sama dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan keadilan sosial”. [13]
Pemerintahan sekarang, pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden SBY sangat menaruh perhatian dan mencoba peduli dengan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Ini berarti pemerintahan yang peduli dengan kesenjangan sosial, karena kesenjangan sosial adalah suatu kondisi perbedaan yang terjadi akibat ketidak adilan dan ketidak merataan kesejahteraan sosial sebagai dampak dari ketidak adilan pembangunan. Celakanya, tuntutan demokratisasi yang sudah berumur hampir satu dasa warsa ini justru banyak menghasilkan kesenjangan sosial baru, karena demokratisasi itu sendiri tidak bergandengan tangan dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Demokratisasi yang dilaksanakan ”kebablasan”. Berbagai tuntutan sebagian kelompok masyarakat yang dilakukan dengan cara-cara menabrak rambu-rambu hukum, norma dan konsensus nasional dengan alasan demokrasi, justru menghasilkan kemiskinan baru kelompok masyarakat lainnya. Demo-demo sebagian masyarakat yang dilakukan dengan cara anarkhis dan sejenisnya justru menghasilakn konflik sosial dalam masyarakat dan melahirkan persoalan-persoalan baru menyangkut kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Konflik horizontal masyarakat bawah dihampir seluruh bagian dari Republik ini menghasilkan korban nyawa dan luka-luka yang tidak sedikit. Belum lagi korban harta benda yang diakibatkan. Selain itu bencana alam yang bertubi-tubi yang juga melanda hampir sebagian wilayah republik ini ikut memperparah kondisi masyarakat bawah. Akibatnya kesenjangan sosial semakin menganga. Stabilitas Nasional terganggu dan krisis nasional semakin berkepanjangan. Masyarakat unqualified  yang merendahkan kebanggaan, harkat dan martabat bangsa semakin menjadi-jadi. Sekali lagi, semuanya sebagai akibat kesenjangan sosial itu, yang harus diwaspadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar