URGENSI KEWASPADAAN NASIONAL DALAM MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA [1]
Oleh : Mayjen TNI (Purn) Putu Sastra Wingarta, S.IP,M.Sc[2]
Pendahuluan
” …dalam delapan tahun terakhir ini,
ditengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di
negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk
mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI,
Bhineka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan,
Kemajemukan dan lain-lain. Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan
dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak
reformis”[3].
Inilah penggalan pidato Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono ketika memperingati hari lahir Pancasila
tanggal 1 Juli 2006 lalu. Pidato ini merupakan representatif dari sebuah
kesadaran bahwa di era reformasi yang ditandai dengan demokratisasi
justru kehidupan nasional Indonesia semakin menjauh dari nilai-nilai
kebangsaan. Walaupun pidato itu sudah berlangsung lebih dari 5 tahun,
namun atmosfer itu pada penggal-penggal waktu dan tempat tertentu masih
terasa hingga sekarang. Euforia reformasi telah menjadikan kehidupan
nasional Indonesia salah arah, kebablasan, kehilangan kompas, dan
mengabaikan kewaspadaan nasional dari berbagai bentuk
ancaman yang menghadangnya. Kondisi seperti ini dirasakan sudah lebih
dari satu dasa warsa ditengah hirup pikuk, kebisingan dan kegaduhan
demokratisasi. Demokrasi dianggap seakan hanya sebuah tujuan dari suatu
kebutuhan kehidupan nasional yang dianggap juga sudah tidak lagi
membutuhkan rambu-rambu, pedoman dan atau sikap yang disebut
kewaspadaan nasional. Kedepan, kondisi ini seharusnya segera diakhiri,
agar kehidupan nasional kembali kepada relnya yang benar, sesuai dengan
kesepakatan nasional – 4 pilar kebangsaan. Kondisi ini juga harus segera
diakhiri, sebelum disintegrasi bangsa semakin mendekat didepan mata,
karena kualitas kewaspadaan nasional kita semakin rendah. Bersyukur,
akhir-akhir ini semakin berkumandang kerinduan terhadap kesepakan
nasional itu- kerinduan dan kesadaran terhadap 4 pilar kebangsaan
meliputi; Pancasila, UUD 1945, sesanti Bhineka Tunggal Ika dan NKRI,
sebagai bentuk dari kesadaran terhadap kewaspadaan nasional.
Tentang Kewaspadaan Nasional dan Persepsi Terhadap Ancaman
Apa itu Kewaspadaan Nasional atau Padnas ?
Kewaspadaan Nasional atau Padnas adalah suatu sikap
dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli
dan rasa tanggung jawab seorang warga negara terhadap kelangsungan
kehidupan nasionalnya — kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegaranya dari suatu ancaman. Padnas juga sebagai suatu kualitas kesiapan dan kesiagaan
yang harus dimiliki olah bangsa Indonesia untuk mampu mendeteksi,
mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan berbagai bentuk
dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Padnas dapat juga diartikan
sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa
Indonesia terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa/NKRI. Oleh karena itu
Padnas harus bertolak dari keyakinan ideoligis dan nasionalisme yang
kukuh serta perlu didukung oleh usaha-usaha pemantauan sejak dini dan
terus menerus terhadap berbagai implikasi dari situasi serta kondisi
yang berkembang baik didalam maupun di luar negeri.
Sejarah Singkat Perjalanan Pelaksanaan Padnas yang dilakukan sejak orde baru sampai era reformasi saat ini:
- Tap MPR RI No XXV /MPRS/1966 tentang pembubaran PKI
Ketetapan inilah yang mencanangkan bahwa
komunisme adalah bahaya latent bagi bangsa Indonesia. Sebuah persepsi
terhadap ancaman terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pasca
Orde Baru, Tap MPR ini sempat menjadi polemik pro – kontra menyangkut
keinginan sebagian masyarakat dan elite bangsa untuk mencabut Tap
tersebut. Alasannya HAM. Namun berdasarkan UU No 27/1999 tentang
kejahatan terhadap negara, maka jelaslah bahwa bangsa Indonesia masih
tetap mewaspadai bahaya latent Komunisme.[4]
- Tap MPR RI No II/MPR/1978 tentang P.4
Ketetapan inilah yang menggiring bangsa
Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ideology Pancasila, agar komunisme tidak berkembang di
Indonesia.
- Inpres No 10 th 1982 tentang konsepsi Kewaspadaan Nasional.
Ketetapan inilah yang dijadikan pedoman
dalam mengimplementasikan kewaspadaan nasional, walau dalam
pelaksanaannya lebih menitik beratkan pada bahaya latent komunisme,
karena Inpres ini mengacu dari Tap MPRS No. XXV/1966. Pada Era Orde Baru
bentuk konkritnya , konsepsi ini disosialisasikan melalui Penataran
Kewaspadaan Nasional ( Tar Pad Nas ).
- Tap MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang dicabutnya Tap MPR RI No II/MPR/1978 tentang P.4
Ketetapan ini lahir di awal-awal era
reformasi. Dicabutnya ketetapan ini tidak terlepas dari suasana
kebatinan bangsa saat itu yang menganggap bahwa pelaksanaan P4 ( Pedoman
Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila ) sudah mengalami distorsi, karena
kenyataan pelaksanaan teori – teori dalam P4 berbeda jauh dengan
pelaksanaan dilapangan. Sejak diberlakukannya ketetapan ini jugalah
terjadi peminggiran terhadap Pancasila, sebuah ideology yang di
sepakati berdasarkan amanat dalam pembukaan UUD 45. Sejak
diberlakukannya ketetapan ini jugalah kembali muncul berbagai wacana
untuk mencari ideology alternatif pengganti Pancasila[5].
- KepPres No.38 th 2000 tentang pembubaran Bakorstanas yang membina kewaspadaan nasional.
Ketetapan ini lahir tidak terlepas dari
penilaian yang menganggap bahwa lembaga ini adalah lembaga pemerintahan
otoriter yang sangat menghambat tumbuhnya demokrasi, karena lembaga ini
sangat mengedepankan pendekatan keamanan dengan berbagai
pembatasan-pembatasan terhadap civil society. Sosialisasi kewaspadaan
nasional untuk mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dalam rangka
penciptaan keamanan yang dilakukan oleh lembaga ini menjadikan anggapan
lembaga ini sebagai momok demokratisasi. Akibatnnya, pembinaan terhadap
kewaspadaan nasional menjadi tidak punya wadah serta tidak punya arah
ditengah-tengah lingkungan strategis yang semakin kompleks.
- Surat Pang TNI No. B/1305/14/23/SET tanggal 27 juni 2000 tentang dialihkannya tanggung jawab Tar Pad Nas kepada Depdagri
Ketetapan inilah yang menjadikan Depdagri
mengambil alih tugas-tugas pembinaan kewaspadaan nasional dengan
melakukan sosialisasi tentang potensi ancaman disintegrasi bangsa
ditengah-tengah badai multi krisis bangsa.
- Kep Mendagri No, 40 th 2001 tentang penugasan kepada Dirjen Kesatuan Bangsa untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi tehnis dibidang kesatuan bangsa.
Ketetapan inilah yang menjadikan Depdagri
harus merumuskan konsepsi implementasi kewaspadaan nasional yang pada
gilirannya diharapkan mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
- SE Mendagri No. 8933/2877/SE tanggal 16 Desember 2002 tentang pelaksanaan kegiatan penataran Ketahanan Bangsa
Surat inilah yang diharapkan mampu
menjadi dasar sosialisasi kewaspadaan nasional untuk muara kesatuan
bangsa dan ketahanan bangsa dari berbagai bentuk ancaman.
- Pasal 7 PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/Kota. Pasal 7 PP 38/2007 ini, menjadi semacam payung hukum yang sangat strategis bagi pemerintahan di tingkat pusat sampai dengan daerah dalam melakukan kewajibannya untuk waspada terhadap berbagai bentuk ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara, pada tataran nasional maupun masing-masing daerah.
Persoalan muncul, ketika reformasi
disikapi secara berlebihan, sosialisasi kewaspadaan nasional dituduh
sebagai manuver pemerintah untuk kembali kepada cara –cara orde baru
dalam mengendalikan perpolitikan nasional yang bergaya doktriner,
sehingga sebagian masyarakat begitu alergi mendengar kewaspadaan
nasional yang sejatinya adalah bentuk upaya pemerintah mengajak
masyarakat bangsanya agar lebih waspada terhadap ancaman yang ada yang
mempengaruhi tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya
kedepan. Ancaman yang dihadapi tidak lagi hanya pada ranah ideologi dan
politik saja. Ranahnya seluruh aspek kehidupan yang menyentuh ranah
geografi, demografi, SKA, ideologi, politik, ekonomi, budaya dan
keamanan (hankam). Ancaman yang dihadapi, tidak lagi ancaman tradisional
belaka, tetapi sudah non tradisional, tidak lagi yang simetrik semata,
tetapi sudah asymetric.
Persepsi Terhadap Ancaman
Dephan (Kemhan) RI telah merumuskan (
buku putih) hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dimana
dis integrasi adalah ancaman untuk kepentingan strategis pertahanan
Indonesia.[6]
Di era globalisasi ini, seyogyanyalah ancaman diartikan sebagai sebuah
kondisi, tindakan, potensi, baik alamiah atau hasil suatu rekayasa,
berbentuk pisik atau non pisik, berasal dari dalam atau luar negeri,
secara langsung atau tidak langsung diperkirakan atau diduga atau yang
sudah nyata yang dapat membahayakan tatanan serta kelangsungan hidup
bangsa dan negara dalam rangka pencapaian tujuan nasionalnya. Pengertian
ini sudah tentu diharapkan sebagai pengertian yang mencakup arti
ancaman,gangguan,hambatan dan tantangan yang pernah kita acu saat era
orde baru dulu.
Ancaman itu sendiri dapat berasal dari
luar maupun dalam negeri. Kedua-duanya selalu memiliki keterkaitan dan
saling mempengaruhi sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Ancaman
(keamanan) tradisional yang datangnya dari luar negeri adalah invasi
atau agresi dari negara lain. Berdasarkan perkiraan, ancaman dalam
bentuk ini kecil kemungkinannya. Oleh karena itu perkiraan ancaman yang
lebih memungkinkan adalah ancaman non tradisional (non traditiopnal threat) atau “non military security threat” atau “non conventional security threat” [7]
yaitu setiap aksi yang mengancam kedaulatan negara , keutuhan wilayah ,
serta keselamatan bangsa dan negara kesatuan RI – ancaman terhadap
wawasan nusantara.[8]
Ancaman yang paling mungkin dari luar negeri terhadap Indonesia adalah
kejahatan yang terorganisir yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara
untuk memperoleh keuntungan dengan memanipulasi kondisi dalam negeri dan
keterbatasan aparatur pemerintah.
Globalisasi melahirkan pemahaman baru menyangkut keamanan (security). Istilah “comphrehensive security”
muncul seiring dengan berakhirnya Perang Dingin sekitar tahun 1988,
yang berseberangan dengan harapan masyarakat dunia yang mengharapkan
dengan optimisme munculnya perdamaian internal dan antar Negara,
berkurangnya kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali
PBB. Namun yang terjadi pada tahun 1990-an justru menimbulkan
pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh “non state actors”
seperti perang saudara, genosida, konflik berdasar identitas, terorisme
yang dipacu oleh frustasi akibat perasaan-perasan kesenjangan
ekonomi,ketidak adilan, “xenophobia”, ketidakamaan akibat
globalisasi , separasi politik, tuntutan solidaritas agama, yang
dimanipulasi oleh kaum ekstremis, fanatic, fundamentalis dan kelompok
radikalis (Muladi,2006)
Prof Muladi mengidentifikasi secara
nasional bahaya-bahaya yang mengancam Wawasan Nusantara dalam arti fisik
dan sosial antara lain :[9]
- Ikatan premordial yang semakin menajam akibat Globalisasi dan bagi yang tidak dapat menyesuaikan diri akan mencari ”traditional shelter”.
- Dampak multi dimensional Globalisasi dengan meningkatnya ICT Technology, sehingga sulit mengontrol pengaruh budaya, ideas/ideology, manusia, informasi melewati batas wilayah negara yang tidak jarang berseberangan dengan kepribadian bangsa.
- Bahaya-bahaya yang diakibatkan oleh ”non traditional/ non military security threat” seperti kejahatan transnational terorganisasi (perdagangan senjata api, imigran gelap, narkotika, money laundering,illegal fishing, illegal loging,illegal mining, campur tangan elemen-elemen asing dalam gerakan separatisme,terrorisme yang dimotori oleh radikalisme yang bersifat transnasional, pembuangan limbah beracun/B3, penyakit menular,konflik horizontal yang tidak jarang mengundang solidaritas kelompok-kelompok asing dan lain-lain).
- Kordinasi pemerintah pusat dan daerah yang masih perlu ditingkatkan.
- Otonomi daerah yang sering ditafsirkan sebagai pembagian kekuasaan.[10]
- Belum berkembangnya alternatif energi yang terbarukan.
- Melemahnya kesadaran terhadap ideologi bangsa dan karakter nasional lainnya.
- Ikatan primordial yang yang menonjol kembali.
- Penegakan supremasi hukum yang belum memuaskan.
- Partai-partai politik yang belum melaksanakan perannya dengan baik sesuai dengan Undang-Undang.
- Implikasi pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan yang bersifat dikotomis dengan segala implikasinya.
- Berkembangnya doktrin ”pre-emtive strike” atau ”anticipatory self defence” setelah peristiwa 9/11.
- Analisis kecenderungan Global sampai 2015 yang cukup memprihatinkan, baik yang berkaitan dengan aspek demografi, kekayaan alam dan lingkungan, sain dan teknologi, ekonomi global dan globalisasi, kepemerintahan nasional dan internasional,konflik mendatang maupun peranan negara-negara maju.
Kofi Annan pada laporannya semasa menjabat SekJen PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama (six clusters of threat)
yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu ancaman social ekonomi
berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi lingkungan, konflik
antar Negara, konflik internal Negara termasuk perang saudara, genosida
dan kekejaman bersekala besar lainnya, senjata nuklir, radiology, kimia
dan biologi, terorisme dan kejahatan lintas Negara terorganisasi (TOC)
(Annan,2005). Selain itu, hal penting berkaitan dengan masa depan hidup
kita, suatu istilah yang digunakan oleh Canton dalam bukunya The Extreme Future. Dikatakan bahwa;
“ Saat ini, kita sedang menghadapi masa
depan pasca 9/11. Masa depan hidup kita , pekerjaan, bisnis – pendek
kata , masa depan dunia kita – sangat tergantung akan kemampuan kita
memperoleh pemahaman baru tentang perubahan-perubahan gamang yang ada
didepan kita. Saya akan menyebut usaha untuk memperoleh pemahaman baru
ini dengan kesiapan menghadapi masa depan (future-readiness).
Lima faktor penentu masa depan ekstrem meliputi : Pertama, Kecepatan. Rata-rata perubahan yang terjadi amat cepat tak terlihat, sangat menyeluruh dan menyentuh setiap aspek , Kedua,
Kompleksitas, yaitu lompatan kuantum dalam angka-angka kekuatan yang
sepertinya tak saling terkait akan mempengaruhi mulai dari gaya hidup,
pekerjaan,pribadi hingga keamanan nasional, Ketiga, Resiko.
Berbagai resiko baru, resiko yang lebih tinggi dan ancaman-ancaman besar
lainnya mulai dari teror, kejahatan,sampai kemerosotan ekonomi global
akan mengubah setiap sendi kehidupan anda, Keempat, Perubahan.
Penyesuaian drastis terhadap pekerjaan, komunitas dan hubungan yang anda
miliki akan mendorong anda untuk beradaptasi secara cepat terhadap
perubahan-perubahan radikal serta. Kelima, Kejutan-kejutan yang
terkadang memang baik, namun tak jarang pula diluar imajinasi, akan
menjadi bagian kehidupan sehari-hari anda. Sering kejutan ini berada di
luar kemampuan indra dan logika” (Canton,2009).
Tentang Integrasi Nasional
Sesungguhnya lambang negara kita burung
Garuda Pancasila yang mencekeram pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika,
adalah sebuah peringatan kepada seluruh bangsa Indonesia untuk waspada
terhadap integrasi nasional. Kata-kata Bhineka Tunggal Ika yang berarti ”
kemajemukan itu sejatinya satu”. memberi peringatan kepada seluruh anak
bangsa agar setiap saat mewaspadai persatuan dan kesatuan bangsa agar
tetap dijaga dan dipelihara sehingga integrasi nasional bangsa Indonesia
terpertahankan dengan baik, menuju cita – cita nasionalnya.
Beberapa saat setelah memasuki era
reformasi, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
bingkai paham nasionalisme terasa semakin kehilangan arahnya dalam
hubungannya dengan upaya mencapai cita-cita dan tujuan nasional seperti
diamanatkan dalam pembukaan UUD 45. Ironisnya, kondisi yang kita rasakan
bersama itu kita maklumi dengan alasan euforia atau karena masa
transisi konsolidasi demokrasi. Padahal kelahiran era reformasi adalah
bentuk konkrit dari kewaspadaan rakyat Indonesia akan deviasi arah
perjalanan bangsa yang diawaki oleh Orde Baru. Pada saat ini ketika
reformasi sudah kita jalankan sedemikian lama , wawasan kebangsaan kita
terasa masih memprihatinkan kalau tak mau dikatakan menurun, yang
apabila tidak diwaspadai dikhawatirkan akan melahirkan sebuah
disintegrasi bangsa. Cukup banyak indikator yang menunjukkan secara
kualitas maupun kuantitas penurunan itu. Walau demikian, ditengah
kekhawatiran akan penurunan itu, sepantasnya kita bersyukur, bahwa
nasionalisme anak bangsa ini sejatinya masih dapat diandalkan apabila
para penyelenggara negara mampu mengelolanya dengan baik.
Konsepsi Nation
Harus diakui bahwa integrasi nasional
secara utuh/bulat masih jauh dari jangkauan ideal maka secara berkala
harus ada upaya untuk menelusuri dan mengkaji secara kritis kualitas
integrasi tersebut, baik dari pendekatan normatif, koersif maupun fungsional.
Diartikan bahwa pendekatan integratif normatif
adalah integrasi yang dilakukan oleh pemerintah yang kurang menghargai
proses budaya, yang alamiah tetapi lebih bersifat memaksa. Pendekatan koersif
mengandung pengertian penggunaan cara kekerasan, cara ideologis serta
tekanan-tekanan fisik dan budaya dalam menyatukan bangsa. Sedangkan
pengertian pendekatan fungsional adalah pemanfaatan saling
ketergantungan fungsional antar daerah, golongan, yang ada dalam negara.
Secara singkat dapat disimpulkan prasyarat bagi terwujudnya integrasi
bangsa antara lain :
- Adanya pemahaman dan kesadaran serta tekad bersatu sebagai bangsa Indonesia dalam wadah NKRI dari Sabang sampai dengan Meraoke berlandaskan Pancasila.
- Adanya pemahaman dan kesadaran serta kesepakatan tentang cita cita dan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45.
- Terwujudnya kesejahteraan dan keamanan yang berkeadilan diseluruh wilayah Indonesia. Tanpa kesejahteraan yang berkeadilan sulit diciptakan kondisi keamanan, sebaliknya tanpa kondisi keamanan yang kondusif pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan sukar dilaksanakan.
Sesungguhnya awal terbentuknya Indonesia sebagai bangsa dalam wadah NKRI yang dilakukan oleh bapak dan ibu pendiri Bangsa (founding fathers) kita tidak terlepas dari pengeterapan kensepsi nation dari ERNEST RENAN dan OTTO BAUER.
Renan mengatakan bahwa:
” sebuah bangsa adalah satu
solidaritas yang besar yang tidak harus memerlukan satu bahasa, satu
agama atau satu turunan yang menjadi pengikat. Yang paling penting
adalah pengikat jiwanya berkehendak untuk hidup bersama.”
Otto Bauer mengatakan bahwa:
” bangsa adalah satu persamaan, suatu persatuan karakter, watak yang tumbuh dan lahir karena kesamaan pengalaman.”
Dengan demikian konsepsi nation yang digunakan oleh founding fathers
kita adalah nation yang berarti suatu entitas politik yang terdiri dari
warga negara yang walaupun berbeda latar belakang ras, etnik, agama,
budaya, golongan satu sama lain, namun punya kehendak yang kuat untuk
bersatu, dibawah payung negara nasional dan didalam suatu wilayah yang
jelas batas-batasnya. ( Bung Karno menambahkan bahwa geopolitik adalah
hubungan antara letak tanah dan air dengan rasa dan kehidupan politiknya
)
Integrasi nasional tidak mungkin
terbentuk begitu saja tanpa integrasi setiap komponen negara maupun
integrasi antar komponen negara. Nation tumbuh dan dibentuk secara sadar
dan bertahap sebagai komunitas politik modern yang memayungi berbagai
komunitas primordial, dengan tujuan sebagai sarana dan wahana kolektif
untuk mewujudkan masa depan bersama baik dalam bidang kesejahteraan
maupun bidang keamanan. Selain itu pengalamam sejarah yang sama sebagai collective memory
memperkuat kebangsaan tersebut. Nation adalah sosio psikologi, landasan
sosio kultural serta landasan sosio politik yang diperlukan untuk
terbentuknya negara nasional. Sebaliknya negara nasional merupakan
subyek utama hukum internasional yang ideal bagi eksistensi nasion. Satu
nasion akan sengsara tanpa negara, dan negara akan labil tanpa dukungan
nation.
Oleh karena itu sesungguhnya integrasi nasional menuntut :
- Perlakuan persamaan hak bagi semua dan setiap warga negara. Ini berarti bahwa integrasi bangsa hanya akan terlaksana dengan baik selama ada jaminan bahwa hak-hak dasar serta martabat warga negara dihormati dan tidak diingkari diperkosa ataupun dilecehkan. Artinya tanpa jaminan itu integrasi menjadi lemah.
- Jaminan keadilan bagi semua dan setiap warga negara dan berlaku baik secara vertikal maupun horizontal. Adanya fairness bisa menjadi kunci utama dalam usaha merelialisasikan keadilan dalam kehidupan sosial, baik dalam bentuk keadilan komutatif maupun distrubutif.
- Dukungan pastisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara. Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai kedaulatan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat perlu dihidupkan kembali secara nyata dengan harapan munculnya komitmen sosial setiap warga dalam karya bersama demi terwujudnya cita-cita .
- Setiap keterbukaan yang membuka perspektif luas serta mampu membuka jalan untuk kesempatan belajar lebih banyak dan mengembangkan potensi dan kekuatan bangsa. Sikap keterbukaan akan semakin bermakna terutama bagi masyarakat yang pluralistik, khususnya dalam rangka menumbuhkan saling pengertian, saling menghormati, dialog dan kerja sama.
Dukungan masyarakat terhadap integrasi
nasional akan menguat apabila integrasi nasional tersebut bukan saja
memberikan harapan hidup yang lebih baik dimasa depan tetapi juga secara
nyata lebih memperbaiki taraf hidup masyarakat sehari-hari betapun
kecilnya. Sedangkan penolakan terhadap integrasi nasional akan semakin
keras apabila jika kehidupan berbangsa dan bernegara bukan saja tidak
memperbaiki taraf hidup rakyat tetapi justru menyengsarakan dan menghina
identitas sosial kultural, adat serta kehidupannya.[11]
Nasionalisme dan peranannya dalam Integrasi nasional
Proses integrasi nasional ( Indonesia)
perlu didukung oleh ideologi nasionalisme. Dalam suatu bangsa yang
masyarakatnya secara sosiokultural majemuk seperti Indonesia, ideologi
nasionalisme perlu memberikan jawaban ideologis serta arahan terhadap
strategi yang akan dianut dalam integrasi nasional. Nasionalisme
merupakan suatu ideologi yang memiliki kekuatan pengaruh yang
menggerakkkan perasaan menjadi bagian dari sesuatu dan berfungsi
membangun perasaan bagi satu komunitas nasional. Nasionalisme adalah
paham nation atau paham kebangsaan.
Menurut sejarahnya bagi Indonesia
nasionalisme adalah counter ideologi terhadap kolonialisme, counter
terhadap konservatisme serta statusquoisme kolonialisme. Maka tidaklah
heran apabila pada awalnya nasionalisme kita sering bersifat
radikalistik bahkan revolusioner. Oleh karena itu nasionalisme Indonesia
sulit dipahami tanpa pendalaman dan pembekalan pengetahuan tentang
latar belakang sejarah kolonialisme di bumi Nusantara.
Sesungguhnya nasionalisme di bumi
Nusantara telah mengembrio sejak Boedi Utomo tahun 1908, lalu menemukan
prinsip-prinsipnya pada Soempah Pemoeda 1928 dan terkristalisasi dalam
cita-cita konkrit menuju Indonesia merdeka dan menemukan puncaknya pada
proklamasi 17 Agustus 1945 yang melahirkan cita-cita nasional. Sejarah
mencatat bahwa nasionalisme Indonesia mengalami pasang surut serta tiada
henti menghadapi berbagai tantangan dan ancaman baik diera Sukarno
maupun Suharto termasuk era Habiebie, Gus Dur Megawati maupun Presiden
SBY saat ini. Ancaman latennya adalah mengarah kepada Dis Integrasi.
Kondisi ini benar-benar harus diwaspadai.
Bagaimana kondisi kita saat ini.
Tanpa perlu diuraikan secara ditail, kita
semua tahu dan merasakan tentang kondisi bangsa dan negara kita saat
ini. Kondisi itu menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan. Akumulasinya adalah rasa aman dan nyaman dalam
menjalani kehidupan nasional sehubungan dengan potensi ancaman yang
dihadapi.[12]
Tindakan-tindakan kekerasan selain terrorisme, masih marak di era
reformasi; era demokratisasi yang masih membawa dampak ikutan kegaduhan,
kebisingan dan kekacauan sosial. Di era reformasilah kita sempat alergi
menyebut Pancasila – lalu membubarkan BP7, mencabut Tap MPR II/1978
tentang P4 yang dianggap menjadi biang keladi rusaknya kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ironisnya justru di era reformasilah kita
merasakan kegaduhan dan kebisingan demokratisasi itu, walau demokrasi
itu memang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat sipil. Diberbagai
tempat di wilayah Indonesia, bentuk-bentuk kekerasan masih terjadi, baik
antar masyarakat dengan masyarakat lainnya;antara masyarakat dengan
aparat;bahkan antara aparat yang satu dengan aparat lainnya. Tindakan
kekerasan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Bentrok antar
mahasiswa, antar pendukung calon bupati, wali kota, gubernur dan
sejenisnya dalam Pilkada, juga bentrok anatara rakyat dengan pengusaha
seperti di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan serta rakyat dengan
aparat di Bima NTB yang selalu membawa korban jiwa.
Dephan RI telah mengeluarkan buku putih
yang menidentifikasi tentang ancaman yang telah, sedang dan akan kita
hadapi ditinjau dari aspek pertahanan meliputi ancaman
terrorisme internasional, separatisme, radikalisme, konflik komunal,
kejahatan batas negara, imigran gelap, keamanan laut, keamanan udara,
dan bencana alam. Apabila kita sepakat bahwa kesemua
ancaman itu sebagai sesuatu yang tidak bisa terlepas dari motifasi dan
pengaruh aspek – aspek kehidupan yang lainnya seperti aspek ideologi,
politik, ekonomi dan sosial budaya, maka ancaman yang teridendifikasi
itu adalah sebuah akumulasi yang akan membawa pengaruh terhadap kualitas
ketahanan nasional kita. Di era otonomi daerah, kualitas ketahanan
nasional kita akan sangat tergantung dari kualitas ketahanan
masing-masing daerah. Kualitas wawasan kebangsaan kita pada skala
nasionalpun akan sangat tergantung dari kualitas wawasan kebangsaan kita
pada masing-masing daerah. Inilah korelasi penting yang harus dipahami,
bahwa wawasan kebangsaan, ketahanan nasional, ideologi nasional dan
kewaspadaan nasional kita terhadap ancaman satu dengan yang lainnya
saling pengaruh mempengaruhi. Ujung-ujungnya kualitas integrasi nasional
kita.
Wawasan Kebangsaan Kita
Berbicara masalah wawasan Kebangsaan,
berarti kita akan kembali berbicara masalah nasionalisme. Suatu paham
yang dibangun dari konsepsi nation yang melahirkan bangsa baru. Konsepsi
nation atau bangsa Indonesia, melekat pada asas bahwa sekalipun bangsa
ini terdiri dari bermacam-macam kemajemukan tetapi semuanya terikat
dalam satu ke Indonesiaan. Atas dasar itu bangsa Indonesia sepakat
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika – ideologi Pancasila.
Pada hakekatnya nasionalisme itu sendiri
mengandung unsur-unsur wawasan, paham dan semangat kebangsaan. Satu dan
lainnya saling berpengaruh dan tergantung. Kesamaan paham akan membawa
pengaruh terhadap kesamaan wawasan maupun semangat. Begitu juga
sebaliknya antara satu dengan yang lainnya. Kesenjangan antara satu
dengan yang lainnya akan berpengaruh terhadap kualitas dari nasionalisme
itu sendiri. Kita bangsa Indonesia, memang sudah memiliki paham
nasional yang kita sebut dengan Pancasila. Kita juga sudah punya wawasan
kebangsaan yang kita sebut dengan wawasan Nusantara. Kitapun seharusnya
punya semangat kebangsaan, semangat mencintai dan membela negara
Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana
kualitas dari nasionalisme itu saat ini. Pertanyaan yang sulit dan
relatif untuk dapat dijawab, namun sebetulnya apabila kita masih
memiliki kesamaan pandangan, melihat kondisi sehari-hari dari kehidupan
kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pertanyaan itu begitu mudah
untuk dijawab dengan kata-kata “memprihatinkan“.
Walau saat ini (2012); sudah 84 tahun sejak Sumpah Pemuda di
kumandangkan tanggal 28 Oktober 1928 dulu; tidak menjadikan jaminan
kualitas nasionalisme kita semakin baik. Justru akhir-akhir ini; setelah
8 tahun era reformasi; era otonomi daerah, kualitas nasionalisme kita
dirasakan semakin mundur dengan beberapa indikatornya. Yang paling
menonjol menguatnya primordialisme, kondisi yang bertentangan dengan
semangat Sumpah Pemuda yang mengusung kesadaran akan nilai-nilai
Persatuan dalam nasionalisme ke Indonesiaan.Hal
inilah yang harus kita waspadai karena memicu lahirnya dis integrasi
bangsa yang menempatkan kita semakin jauh menuju cita-cita nasional.
Dengan demikian, hal yang kita waspadai itu harus ditemukan akar penyebabnya
secara akurat, lalu dilakukan langkah-langkah strategis untuk
memperbaikinya. Sebagai renungan yang dapat dijadikan bahan untuk
didiskusikan, penyebab itu semua karena kita mengalami kesenjangan yang
sangat dipelbagai aspek kehidupan menyangkut aspek ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya ,pertahanan dan keamanan termasuk kesenjangan
hukum, yang berimplikasi pada lemahnya ketahanan nasional kita.
Kewaspadaan Nasional terhadap berbagai
kesenjangan sosial berkaitan langsung dengan kualitas nasionalisme.
Presiden SBY mengatakan bahwa;
”Nasionalisme masa kini adalah
membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Nasionalisme,
kebanggaan kepada bangsa sendiri, harkatnya, martabatnya, kemuliaannya,
itu dapat tercapai jika bangsa kita tidak lagi banyak yang miskin dan
terbelakang. Dikatakan disitu, demokrasi tidak akan hidup subur tanpa
kesejahteraan dan keadilan sosial. Jangan kita mengabsolutkan dan
mendewakan demokrasi. Demokrasi itu sendiri harus bergandengan, tidak
boleh jalan sendiri dan mesti hidup bersama-sama dengan peningkatan
kesejahteraan rakyat dan peningkatan keadilan sosial”. [13]
Pemerintahan sekarang, pemerintahan yang
dipimpin oleh Presiden SBY sangat menaruh perhatian dan mencoba peduli
dengan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Ini berarti
pemerintahan yang peduli dengan kesenjangan sosial, karena kesenjangan
sosial adalah suatu kondisi perbedaan yang terjadi akibat ketidak adilan
dan ketidak merataan kesejahteraan sosial sebagai dampak dari ketidak
adilan pembangunan. Celakanya, tuntutan demokratisasi yang sudah berumur
hampir satu dasa warsa ini justru banyak menghasilkan kesenjangan
sosial baru, karena demokratisasi itu sendiri tidak bergandengan tangan
dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Demokratisasi yang dilaksanakan
”kebablasan”. Berbagai tuntutan sebagian kelompok masyarakat yang
dilakukan dengan cara-cara menabrak rambu-rambu hukum, norma dan
konsensus nasional dengan alasan demokrasi, justru menghasilkan
kemiskinan baru kelompok masyarakat lainnya. Demo-demo sebagian
masyarakat yang dilakukan dengan cara anarkhis dan sejenisnya justru
menghasilakn konflik sosial dalam masyarakat dan melahirkan
persoalan-persoalan baru menyangkut kesejahteraan rakyat dan keadilan
sosial. Konflik horizontal masyarakat bawah dihampir seluruh bagian dari
Republik ini menghasilkan korban nyawa dan luka-luka yang tidak
sedikit. Belum lagi korban harta benda yang diakibatkan. Selain itu
bencana alam yang bertubi-tubi yang juga melanda hampir sebagian wilayah
republik ini ikut memperparah kondisi masyarakat bawah. Akibatnya
kesenjangan sosial semakin menganga. Stabilitas Nasional terganggu dan
krisis nasional semakin berkepanjangan. Masyarakat unqualified yang
merendahkan kebanggaan, harkat dan martabat bangsa semakin
menjadi-jadi. Sekali lagi, semuanya sebagai akibat kesenjangan sosial
itu, yang harus diwaspadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar