Alex
adalah seorang anak yang tinggal di wilayah ibukota. Hari-harinya dipenuhi
dengan sekolah, les, dan permainan ala anak kota. Sepulang sekolah Alex selalu
bermain sendiri di rumah, asyik dengan kehidupannya yang begitu mewah hingga
bermain pun seperti tak membutuhkan teman nyata. Permainan Alex seperti biasanya
yaitu bermain game ataupun online di depan komputer miliknya. Meski tanpa seorang
teman, Alex tetap menikmati hidupnya bergulat dengan dunia maya hingga suatu
ketika ayahnya mengalami kebangkrutan dan harus pindah rumah.
Setelah
mengalami kebangkrutan ayah Alex membawa semua anggota keluarganya kembali ke
kampung halamannya di Kampung Panginyongan dekat Curug Cipendok, Banyumas, Jawa
Tengah. Alex merasa terpukul karena dia harus meninggalkan semua teman dunia
mayanya yang dijual untuk melunasi
hutang ayahnya.
Tinggal
di Kampung Panginyongan tempat nenek Alex, Alex merasa sangat tidak betah dan
kesepian. Ia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Sedikitpun tak pernah
terpikirkan oleh Alex dia akan tinggal di desa yang terpencil yang sulit akses
transportasi ke kota ditambah lagi tempat neneknya begitu sederhana dan tak
mempunyai televisi ataupun radio.
Alex
mulai jenuh dengan kesendirianya di rumah, kemudian dia mulai sering duduk di
teras rumah untuk menghilangkan kepenatannya. Dia mengamati keadaan
disekitarnya yang berbeda dengan tempat yang ia huni selama ini. Terkadang dia
melihat sekumpulan anak bermain bersama di depan rumahnya atau sekali waktu Alex
melihat orang-orang dusun sedang melakukan kegiatan gotong royong.
Setelah
beberapa hari berada di kampung, Alex mulai penasaran dengan alam Kampung
Panginyongan ini. Dia berjalan mengelilingi kampung dan tak sengaja melihat segerombolan
anak desa yang sebaya dengannya. Alex bingung apa yang sedang dilakukan
anak-anak desa itu. Mereka bermain bersama, berlari-larian, bahkan saling
mengejar. Alex berdiri mengamatinya tak jauh dari kerumunan anak itu. Kemudian
salah seorang dari mereka menghampiri Alex, dengan dialek Banyumasnya yang
ngapak dan medok ia menyapa Alex.
“Pangapurane (kata maaf dalam bahasa Jawa
ngapak), kamu anak baru ya”? kata
anak itu dengan bahasa indonesia yang terbata-bata. “ayo ikut bermain dengan
kami”!
Tanpa
pikir panjang Alex mengikuti anak itu dan bergabung bersama teman-temannya untuk
menghilangkan kesepian dan bosan yang sedang ia rasakan. Alex memperkenalkan
diri kepada temannya, “Hai, aku Alex pindahan dari Jakarta, bolehkah ikut
bergabung dengan kalian”?
“oh,
silakan. Namaku Supardi tapi panggil saja Pardi dan itu teman-temanku”. Sahut
anak yang menyapanya barusan sambil memperkenalkan teman-temanya.
Mereka
mengajak Alex untuk bermain bersama, namun Alex tak tau permainan apa yang sedang
dimainkan oleh anak-anak itu.
“Kamu
kenapa Lex kok diam saja? Ayo kita ngumpet”! kata anak desa itu.
Alex
menyahut “maaf, saya tak paham apa yang kalian mainkan”.
“Olalah
Alex ini kan permainan petak umpet
masa kamu tidak tau? Apa di Jakarta sana kamu tak penah bermain seperti kita?
Ya sudah kamu lihat kami bermain dulu saja sambil menemani Sumi yang menutup
matanya di sebelah sana” Sahut Pardi.
Dalam
hati Alex bergumam, permainan seperti ini saja ia tak mengenalnya. Lalu apakah
masa kanak-kanak yang dia jalani selama ini salah. Dia belum juga menemukan Jawabanya.
Di lain sisi Alex menganggap permainan anak desa ini kadang terasa jorok dan ia
risih jika tak memakai alas kaki seperti itu.
“Alex”
teriak Pardi.
Panggilan
Pardi seketika membangunkan Alex dari lamunanya. Kemudian mereka
berbincang-bincang beberapa saat.
“Bagaimana
Lex, Kamu sudah paham cara bermain petak umpet ini?” tanya pardi.
“iya
sepertinya aku sudah sedikit mengerti permainan itu Di”.
“Oh
iya Nanti sore kami akan bermain Gobak
Sodor di lapangan. Kamu mau ikut lagi kan? ngomong-ngomong rumahmu di
mana”? celoteh Pardi.
“tentu
Di aku ingin bermain lebih banyak lagi dengan kalian, Rumahku di sebelah sana samping
kebun teh, terima kasih Di sudah mau jadi temanku.” ungkap Alex sambil menujuk
ke arah rumahnya.
“Ya
sudah Lex, sepertinya hari sudah semakin siang kami mau bantu bapake (sebutan untuk ayah dengan bahasa
Jawa ngapak) di sawah dulu ya, sampai
jumpa nanti sore”. Pardi menyudahi perbincanganya dan terlihat terburu-buru
untuk pergi ke sawah.
Setelah
itu, Alex berjalan pulang dengan wajah yang riang, sepanjang jalan dia berpikir
mengenai permainan anak desa tadi. Di kota ia menganggap permainan tersebut
sangat kampungan namun ternyata permainan seperti itu pun mengasyikan.
Alex
sampai di rumah dengan penuh keringat dan kotor di bajunya, kemudian duduk
sejenak di teras. Tiba-tiba datang neneknya dan bertanya, “Kamu habis dari mana
Le ( panggilan sayang untuk anak laki-laki), kok tumben lama kamu pergi? Sudah
mulai betah tinggal di sini sama nenek”?
Kali
ini Alex tersenyum, “Tadi aku diajak bermain eyang sama anak desa, ternyata permainan
tradisional asyik juga”.
Alex
berlari ke kamar dan bergegas untuk mandi. Yah! tak seperti di kota tempat
tinggalnya dulu, di sini Alex mandi di sungai yang jernih, bersih, dan sejuk.
Dengan membawa peralatan mandi di gayung, dia pergi ke sungai. Dalam
perjalananya ke sungai, jarak beberapa meter dari sungai itu terdengar
nada-nada seperti bunyi air namun terdengar indah. Alex mendekati alunan nada
yang asyik untuk didengar tersebut. Di sana terlihat beberapa ibu, nenek bahkan
anak yang sedang bermain-main dengan air.
“Tunggu,
tapi ibu dan nenek tersebut sedang mencuci bagaimana bisa terdengar indah bunyi
air di sana”? gumam Alex.
Alex
semakin mendekati beberapa orang yang sedang beraktifitas di sungai dan menghasilkan
bunyi indah tersebut, Alex melihat mereka memainkan air dengan indah dan riang sambil
beraktifitas sampai menghasilkan bunyi seperti itu. Terkadang Alex melihat
mereka seperti menari-nari dengan energik. Dengan kecerobohannya saat mengamati
mereka, Alex salah menginjak batu kemudian terpeleset sampai di dekat mereka.
Sejenak mereka kaget kemudian mengamati wajah Alex.
“Le
kamu sepertinya mirip dengan cucunya nenek Kinah yang baru datang dari kota ya?
Sedang apa kamu di sini sendirian”? sapa ibu tersebut.
Kepanikan
Alex hilang dan akhirnya dia bercerita tentang kenapa dia bisa sampai
menghampiri orang itu,”Tak sengaja saat hendak mandi tadi saya mendengar bunyi
indah Bu, lalu saya menghampiri dari mana asal bunyi tersebut. Saya melihat
ternyata bunyi tersebut berasal dari tarian dan aktivitas dari sini, maaf saya
penasaran jadi saya mengamati apa yang ibu dan orang-orang di sini lakukan”.
“Oh,
jadi begitu Le, kami ini sedang beraktifitas sambil bermain Kunclungan Le bersama anak-anak. Warga
di desa ini juga biasanya bermain Kunclungan
di sungai yang jernih ini untuk menghilangkan kepenatan”. Jelas ibu tersebut.
“Kunclungan itu apa ibu? Oh iya saya Alex
cucu eyang Kinah” sahut Alex tersenyum.
“ Kunclungan itu permainan tradisional
khas Banyumas Le, permainanya dilakukan dengan menepuk, meninju, dan mengaduk air
sungai hingga mengeluarkan nada indah seperti tadi yang kamu dengar. Kalau kamu
mau, ayo bergabung bersama kami setelah selesai aktivitas kami akan bermain Sripat” Ajak ibu tersebut kepada Alex.
Alex
mengangguk dan tersenyum, menyetujui untuk bergabung dengan orang-orang
tersebut. Namun Alex bingung permainan apalagi yang orang dusun itu katakan, Sripat itu seperti apa? Gumam Alex dalam
hati.
Orang
dusun itu mengajak Alex mencari batu pipih yang berdiameter sekitar 3 sampai 4
sentimeter di sekitar bibir sungai. Alex belum tahu apa yang akan dilakukan
dengan batu-batu tersebut, tapi ia tetap mengikuti mereka dengan rasa penasaran
yang cukup tinggi. Setelah batu pipih itu terkumpul dan dirasa cukup untuk
bermain, mereka mengajak Alex untuk bermain.
“ayo
Le kita bermain Sripat, caranya kamu
lempar batu-batu itu ke sungai tapi syaratnya batu itu harus terpantul-pantul
di permukaan air, yang lemparan batunya menghasilkan pantulan terbanyak dia
yang menang Le, contohnya seperti ini”. Ibu tersebut memperlihatkan cara
bermain Sripat sambil melemparkan
batu itu ke tengah dengan melemparkannya secara menyamping.
Alex
melihatnya kemudian menirukannya. Berkali-kali ia gagal melempar untuk
menghasilkan pantulan, namun dipandu oleh ibu tersebut akhirnya dia mengetahui
trik untuk melempar supaya terpantul meski tak sebanyak pantulan yang ibu,
nenek, dan anak itu lakulan.
Tiba-tiba
Alex tersadar bahwa hari sudah menjelang sore. Tak terasa bermain di alam seperti
ini sungguh mengasyikan hingga Alex melupakan niatnya untuk mandi. Lalu Alex
bergeras mandi di sungai jernih itu. Setelah badannya segar, dia langsung
kembali ke rumah. Di tengah perjalannya, Alex teringat tentang janjinya untuk
bermain Gobak Sodor bersama Pardi, sebuah permainan yang juga belum iya ketahui
seperti apa. Namun Alex memutuskan untuk pulang saja karena seharian ini
dipenuhi dengan jalan-jalan, bermain, dan menemukan hal-hal baru di Kampung
Panginyongan.
Beberapa
saat kemudian, setelah berjalan lumayan jauh dari sungai Alex tiba di rumah dan
bertemu dengan ayahnya.
“Maafkan papah nak, karena bisnis
papah yang bangkrut kamu jadi merasakan imbasnya” ucap ayahnya.
“Awalnya aku memang merasa sangat
kesepian dan ingin pulang ke Jakarta Pah, tapi hari ini cukup menghiburku dengan
merasakan indahnya desa, aku berkenalan dengan banyak teman dan bermain banyak
permainan tradisional Pah” cerita Alex pada ayahnya.
Kemudian
ayahnya mengajak Alex untuk duduk bersama di teras dan ngobrol-ngobrol. Ayah Alex
menceritakan masa kecilnya dulu di Kampung Panginyongan dan bagaimana dia
tumbuh besar dengan berbagai permainan tradisional di sekelilingnya. Selain
menceritakan keasyikan permainan tradisional, ayah Alex juga menceritakan
tentang manfaat di balik permainan tradisional yang ada. Salah satunya ayah Alex
menceritakan tentang permainan Gobak
Sodor atau Galasin, permainan
favoritnya waktu kecil yang ternyata bermanfaat untuk melatih kecerdasan anak
untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan sesama. Intinya ayah Alex ingin
menegaskan bahwa permainan tradisional itu bukan hanya sekedar permainan
seperti permainan Alex di kota yang berkutat dengan dunia maya, tapi permainan
tradisional juga melatih kecerdasan sosial seseorang.
Setelah
beberapa lama bercerita dengan anaknya, ayah Alex mengelus kepala Alex dengan
lembut sambil berkata, “ kelak saat kamu dewasa kamu akan tau makna di balik
permainan tradisional yang kamu mainkan dengan suka ria di sini Nak, nah
sekarang masuk ke rumah Nak sebentar lagi azan magrib berkumandang, tak baik
anak-anak berada di luar rumah ketika Sandikala
(sebutan waktu menjelang magrib di Jawa)”. Kemudian mereka masuk ke rumah
bersama-sama.
Usai
melaksanakan ibadah salat magrib berjamaah, seperti biasa keluarga Alex makan
malam bersama di rumah dengan menu sederhana soto sokaraja khas Banyumas buatan
neneknya, namun sangat terasa kehangatannya. Mereka makan malam sambil
berbincang-bincang untuk menambah keakraban. Alex menceritakan semua yang dia
alami hari ini pada seluruh anggota keluarga. Kemudian kakek Alex menyela “menyenangkan
bukan Le suasana di kampung ini? Kalau kamu mau lihat lebih banyak lagi, besok
ikut kakek di acara Grebeg Lesung, pasti
akan lebih banyak hal yang mengasyikan lagi. Orang desa ini selalu mengadakan
ritual ini secara rutin di setiap bulan Sura
atau Tahun Baru Islam. Nanti di sana kamu bisa berkumpul dengan teman-teman
baru dan mungkin juga bisa ikut berebut berbagai hasil bumi dalam ritual Grebeg Lesung”.
“hore, aku mau
ikut eyang kakung”. Alex menyetujuinya dengan penuh antusias.
Tak
lama kemudian azan isya berkumandang, kemudian mereka bergegas menyelesaikan
makannya, membereskan tempat makan dan salat isya berjamaah. Alex menuruti apa
yang dikatakan oleh sang kakek, kemudian ia masuk ke kamar. Alex memikirkan keindahan-keindahan
yang ia alami hari ini dan membayangkan keindahan yang akan terjadi hari esok.
Setelah rasa kantuknya begitu kuat, Alex membaca doa kemudian tidur.
Pagi
yang cerah dengan matahari yang mengintip di balik bukit serta nyayian ayam
jantan yang merdu bersahut-sahutan. Alex keluar dari kamar kemudian berlari ke
sungai untuk mandi. Ia tak sabar untuk pergi ke tempat dilaksanakanya Grebeg Lesung yang diceritakan sang
kakek semalam. Pagi ini wajahnya terlihat begitu riang, ia duduk di teras
menunggu untuk di ajak kakeknya berangkat sambil bersenandung.
“Sudah
rapi kamu Le, ayo kita berangkat. Nanti kakek akan menunjukan
keindahan-keindahan desa ini padamu Le, uhuk.uhuk” ajak kakek yang kurang sehat
hari ini.
Alex
dan kakeknya berjalan kurang lebih sudah seratus meter dari rumah, kemudian melewati
sebuah hutan yang terawat. Di tengah-tengah hutan itu Alex melihat sebuah
telaga cantik yang memantulkan cahaya matahari pagi.
“Eyang
kakung, cantiknya telaga yang kita lalui ini, apa namanya”? tanya Alex.
“Ini
namanya Telaga Pucung Le” jawab kakek.
Alex
sangat kagum dengan kecantikan alam Telaga Pucung yang begitu jernih dan dikelilingi
hutan alami ini. Sesekali terdengar suara burung langka dari jawa yaitu Elang
Jawa yang berputar-putar di atas telaga menunjukan kegagahanya atau bahkan
terkadang terlihat sekilas monyet berwarna abu-abu atau biasa disebut rek-rek
yang asyik bergelantungan dan bermain di antara pepohonan yang rindang. Bibir Alex
tak henti-hentinya berdecak kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta
alam semesta.
“Le,
kamu kenapa? Jangan kawatir melewati hutan ini, hewan di sini tak akan
mengganggu kita jika kita tak mengganggunya terlebih dahulu kok, tenang saja”.
Papar sang kakek.
Alex
hanya tersenyum, kakeknya tak tau apa yang dipikiran Alex. Alex bukan sedang kawatir
namun ia sedang mengagumi ciptaan Tuhan.
Setelah
menempuh jarak yang cukup jauh bagi kakek paruh baya dan anak kecil seperti Alex,
akhirnya sampai juga mereka di tempat diadakanya Grebeg Lesung. Ternyata mereka terlalu bersemangat hingga ketika sampai
di tempat tersebut ternyata panitia masih sibuk menyusun hasil bumi seperti
sayur-mayur, bahan kebutuhan pokok, serta buah-buahan untuk dijadikan
arak-arakan. Namun tak lama kemudian suasana di sana terlihat semakin ramai,
orang-orang yang berdatangan semakin banyak dari berbagai penjuru desa untuk
menyaksikan dan mengikuti ritual tahunan tersebut.
Setelah
arak-arakan selesai dibuat dan warga yang menyaksikan sudah berkumpul banyak,
ritual tersebut mulai dilaksanakan yaitu dengan membawa arak-arakan sejauh
kurang lebih tiga kilometer menuju wilayah kaki Gunung Slamet. Alex dan
kakeknya pun ikut berjalan mengarak dengan penuh suka cita sampai mereka lupa
bahwa hari ini mereka belum sempat sarapan.
Setelah
arak-arakan sampai di tempat tujuan, Alex dan sang kakek mengikuti acara ritual
tersebut dengan hikmat. Mereka ikut mengamini doa yang dipanjatkan oleh sesepuh
setempat yang ditunjuk memimpin doa, memanjatkan rasa syukur atas rejeki berupa
hasil bumi yang melimpah serta berdoa agar seluruh masyarakat Banyumas
diberikan keselamatan oleh Sang Hyang Agung.
Setelah
acara doa selesai, Alex melihat berbagai acara yang telah dipersiapkan di sana.
Kakek Alex mengajak Alex melihat hadrah
yang merupakan kesenian islami dan kemudian menyaksikan penampilan kakeknya
sebagai penabuh kentong, kesenian
musik jawa. Alex berdiri melihat kakeknya, bertepuk tangan, bersorak-sorai,
bahkan terkadang Alex menirukan gerakan tarian seperti sedang memukul alat
musik kentong. Sungguh senang dan
puasnya hari ini bagi Alex yang untuk pertama
kalinya melihat berbagai kesenian yang menakjubkan di Banyumas.
Usai
acara hadrah dan kentongan, Alex dan kakek menungggu acara yang paling seru dalam
ritual ini, yah tepat sekali masih ada acara tabuh lesung dan berebut hasil bumi yang paling ditunggu-tunggu. Ternyata
acara tabuh lesung itu dimainkan oleh
para ibu-ibu, Alex terkejut karena yang dilihatnya adalah para wanita yang sedang
menumbuk-numbuk dengan tongkat kayu pada lesung. Mereka menari-nari sambil
menumbuk-numbuk di lesung dengan penuh energik dan ceria sambil diiringi dengan
alat musik tradisional lainya. Kemudian Alex melihat ada satu wanita yang
berdandan dengan eloknya menggunakan kain jarik sebagai roknya dan berpakaian
kebaya dengan konde yang besar di kepalanya. Wanita yang rupawan itu juga berjoget
sambil bernyanyi jenis campursari khas banyumasan.
Raut
wajah Alex terlihat letih, meski menikmati banyak keindahan budaya di sini
ternyata ia merasa lapar dan ingin beristirahat. Tetapi masih ada acara
terakhir yang akan dimulai. Kakek Alex bersiap-siap menggendong Alex di atas
bahunya untuk bisa membantu Alex lebih cepat berebut isi arak-arakan tersebut.
Saat perebutan arak-arakan dimulai, kakek Alex langsung berlari dan dengan
sigap Alex mengambil beberapa buah-buahan dari arak-arakan tersebut. Kebetulan
buah-buahan itu terletak paling atas, jadi dengan bantuan sang kakek Alex bisa dengan
mudah menjangkaunya.
Selesai
acara, mereka berdua berjalan dengan santai untuk mencari tempat di mana mereka
bisa memakan hasil berebut tadi sambil melihat pemandangan yang indah di
dataran tinggi tersebut. Akhirnya mereka menemukan tempat yang tepat di mana
mereka bisa melihat air terjun yang indah dan pemandangan alam sekitar yang
hijau. Mereka mengeluarkan buah-buahan hasil berebut dan mulai memakannya
dengan sangat lahap karena perutnya memang sudah dalam keadaan keroncongan.
Seperti
biasa, untuk menumbuhkan keakraban sang kakek makan sambil bercerita banyak hal
kepada cucunya.
“Nah
Le, inilah rangkaian acara grebek lesung yang kita nikmati barusan. Ritual ini
bukan hanya sekadar arak-arakan dan penampilan budaya lek. Ritual ini punya
makna yaitu dengan kita mendapatkan hasil bumi saat berebut tadi kita akan
mendapatkan kemakmuran seperti kata bapak dari eyang kakung dulu”. Petuah sang
kakek.
“Iya
Yang, tapi Alex masih sedikit aneh Yang. kenapa ajaran Islam kok jadi bergabung
sepeti itu ya sama tari-tarian dan arak-arakan”? Sahut Alex yang belum mengerti
tentang wujud perayaan Tahun Baru Islam yang dia ikuti.
“Itulah
Le yang namanya budaya, dulu sebelum datang Islam di Indonesia memang
kepercayaan orang Indonesia terutama sebagian besar masyarakat di Banyumas ini
adalah Hindu atau Budha. Biasanya orang menyebutnya kepercayaan Kejawen untuk
ajaran Hindu Budha yang tersebar di Jawa Le, tapi setelah masuknya Islam di
Indonesia terutama di hati dan kepercayaan masyarakat di sini, ya jadilah
seperti itu Le, seperti perpaduan tentang nilai-nilai keislaman dengan
keyakinan yang sudah masyarakat jaga sebelum masuknya islam”. Jelas sang kakek.
“berati
masyarakat di sini belum Islam sepenuhnya ya Eyang”? Celetuk Alex yang masih
bingung.
“Bukan
begitu Le, apa yang ada dan kami jaga saat ini sebetulnya bukan lagi sebagai
wujud perpaduan keyakinan, namun wujud dari budaya yang wajib kita jaga yang
merupakan warisan dari leluhur Le. Sekarang kamu mengerti kan makna dari ritual
ini? Budaya Grebeg Lesung ini juga
salah satu wujud kekayaan yang wajib kita lestarikan Le” tegas sang kakek
dengan lembut.
Alex
mengangguk-angguk memahami petuah yang kakek berikan dan dari hati yang paling
dalam akhirnya dia mensyukuri kedatangannya di Kampung Panginyongan hingga ia
bisa mengenal berbagai bentuk budaya mulai dari permainan tradisional sampai
ritual yang barusan ia jalani. Ternyata yang selama ini Alex jalani di kota
telah keliru. Alex memang tetap berpikiran teknologi itu penting namun sekarang
Alex juga menyadari untuk bisa lebih jauh mengenal budaya di Indonesia dan
melestarikanya, karena seperti petuah kakeknya, budaya juga merupakan salah
satu kekayaan dari Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar