Rabu, 20 Agustus 2014

Petualangan Budaya di Kampung Panginyongan



Alex adalah seorang anak yang tinggal di wilayah ibukota. Hari-harinya dipenuhi dengan sekolah, les, dan permainan ala anak kota. Sepulang sekolah Alex selalu bermain sendiri di rumah, asyik dengan kehidupannya yang begitu mewah hingga bermain pun seperti tak membutuhkan teman nyata. Permainan Alex seperti biasanya yaitu bermain game ataupun online di depan komputer miliknya. Meski tanpa seorang teman, Alex tetap menikmati hidupnya bergulat dengan dunia maya hingga suatu ketika ayahnya mengalami kebangkrutan dan harus pindah rumah.
Setelah mengalami kebangkrutan ayah Alex membawa semua anggota keluarganya kembali ke kampung halamannya di Kampung Panginyongan dekat Curug Cipendok, Banyumas, Jawa Tengah. Alex merasa terpukul karena dia harus meninggalkan semua teman dunia mayanya yang  dijual untuk melunasi hutang ayahnya.
Tinggal di Kampung Panginyongan tempat nenek Alex, Alex merasa sangat tidak betah dan kesepian. Ia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Sedikitpun tak pernah terpikirkan oleh Alex dia akan tinggal di desa yang terpencil yang sulit akses transportasi ke kota ditambah lagi tempat neneknya begitu sederhana dan tak mempunyai televisi ataupun radio.
Alex mulai jenuh dengan kesendirianya di rumah, kemudian dia mulai sering duduk di teras rumah untuk menghilangkan kepenatannya. Dia mengamati keadaan disekitarnya yang berbeda dengan tempat yang ia huni selama ini. Terkadang dia melihat sekumpulan anak bermain bersama di depan rumahnya atau sekali waktu Alex melihat orang-orang dusun sedang melakukan kegiatan gotong royong.
Setelah beberapa hari berada di kampung, Alex mulai penasaran dengan alam Kampung Panginyongan ini. Dia berjalan mengelilingi kampung dan tak sengaja melihat segerombolan anak desa yang sebaya dengannya. Alex bingung apa yang sedang dilakukan anak-anak desa itu. Mereka bermain bersama, berlari-larian, bahkan saling mengejar. Alex berdiri mengamatinya tak jauh dari kerumunan anak itu. Kemudian salah seorang dari mereka menghampiri Alex, dengan dialek Banyumasnya yang ngapak dan medok ia menyapa Alex.
Pangapurane (kata maaf dalam bahasa Jawa ngapak), kamu anak baru ya”? kata anak itu dengan bahasa indonesia yang terbata-bata. “ayo ikut bermain dengan kami”!
Tanpa pikir panjang Alex mengikuti anak itu dan bergabung bersama teman-temannya untuk menghilangkan kesepian dan bosan yang sedang ia rasakan. Alex memperkenalkan diri kepada temannya, “Hai, aku Alex pindahan dari Jakarta, bolehkah ikut bergabung dengan kalian”?
“oh, silakan. Namaku Supardi tapi panggil saja Pardi dan itu teman-temanku”. Sahut anak yang menyapanya barusan sambil memperkenalkan teman-temanya.
Mereka mengajak Alex untuk bermain bersama, namun Alex tak tau permainan apa yang sedang dimainkan oleh anak-anak itu.
“Kamu kenapa Lex kok diam saja? Ayo kita ngumpet”! kata anak desa itu.
Alex menyahut “maaf, saya tak paham apa yang kalian mainkan”.
“Olalah Alex ini kan permainan petak umpet masa kamu tidak tau? Apa di Jakarta sana kamu tak penah bermain seperti kita? Ya sudah kamu lihat kami bermain dulu saja sambil menemani Sumi yang menutup matanya di sebelah sana” Sahut Pardi.
Dalam hati Alex bergumam, permainan seperti ini saja ia tak mengenalnya. Lalu apakah masa kanak-kanak yang dia jalani selama ini salah. Dia belum juga menemukan Jawabanya. Di lain sisi Alex menganggap permainan anak desa ini kadang terasa jorok dan ia risih jika tak memakai alas kaki seperti itu.
“Alex” teriak Pardi.
Panggilan Pardi seketika membangunkan Alex dari lamunanya. Kemudian mereka berbincang-bincang beberapa saat.
“Bagaimana Lex, Kamu sudah paham cara bermain petak umpet ini?” tanya pardi.
“iya sepertinya aku sudah sedikit mengerti permainan itu Di”.
“Oh iya Nanti sore kami akan bermain Gobak Sodor di lapangan. Kamu mau ikut lagi kan? ngomong-ngomong rumahmu di mana”? celoteh Pardi.
“tentu Di aku ingin bermain lebih banyak lagi dengan kalian, Rumahku di sebelah sana samping kebun teh, terima kasih Di sudah mau jadi temanku.” ungkap Alex sambil menujuk ke arah rumahnya.
“Ya sudah Lex, sepertinya hari sudah semakin siang kami mau bantu bapake (sebutan untuk ayah dengan bahasa Jawa ngapak) di sawah dulu ya, sampai jumpa nanti sore”. Pardi menyudahi perbincanganya dan terlihat terburu-buru untuk pergi ke sawah.
Setelah itu, Alex berjalan pulang dengan wajah yang riang, sepanjang jalan dia berpikir mengenai permainan anak desa tadi. Di kota ia menganggap permainan tersebut sangat kampungan namun ternyata permainan seperti itu pun mengasyikan.
Alex sampai di rumah dengan penuh keringat dan kotor di bajunya, kemudian duduk sejenak di teras. Tiba-tiba datang neneknya dan bertanya, “Kamu habis dari mana Le ( panggilan sayang untuk anak laki-laki), kok tumben lama kamu pergi? Sudah mulai betah tinggal di sini sama nenek”?
Kali ini Alex tersenyum, “Tadi aku diajak bermain eyang sama anak desa, ternyata permainan tradisional asyik juga”.
Alex berlari ke kamar dan bergegas untuk mandi. Yah! tak seperti di kota tempat tinggalnya dulu, di sini Alex mandi di sungai yang jernih, bersih, dan sejuk. Dengan membawa peralatan mandi di gayung, dia pergi ke sungai. Dalam perjalananya ke sungai, jarak beberapa meter dari sungai itu terdengar nada-nada seperti bunyi air namun terdengar indah. Alex mendekati alunan nada yang asyik untuk didengar tersebut. Di sana terlihat beberapa ibu, nenek bahkan anak yang sedang bermain-main dengan air.
“Tunggu, tapi ibu dan nenek tersebut sedang mencuci bagaimana bisa terdengar indah bunyi air di sana”? gumam Alex.
Alex semakin mendekati beberapa orang yang sedang beraktifitas di sungai dan menghasilkan bunyi indah tersebut, Alex melihat mereka memainkan air dengan indah dan riang sambil beraktifitas sampai menghasilkan bunyi seperti itu. Terkadang Alex melihat mereka seperti menari-nari dengan energik. Dengan kecerobohannya saat mengamati mereka, Alex salah menginjak batu kemudian terpeleset sampai di dekat mereka. Sejenak mereka kaget kemudian mengamati wajah Alex.
“Le kamu sepertinya mirip dengan cucunya nenek Kinah yang baru datang dari kota ya? Sedang apa kamu di sini sendirian”? sapa ibu tersebut.
Kepanikan Alex hilang dan akhirnya dia bercerita tentang kenapa dia bisa sampai menghampiri orang itu,”Tak sengaja saat hendak mandi tadi saya mendengar bunyi indah Bu, lalu saya menghampiri dari mana asal bunyi tersebut. Saya melihat ternyata bunyi tersebut berasal dari tarian dan aktivitas dari sini, maaf saya penasaran jadi saya mengamati apa yang ibu dan orang-orang di sini lakukan”.
“Oh, jadi begitu Le, kami ini sedang beraktifitas sambil bermain Kunclungan Le bersama anak-anak. Warga di desa ini juga biasanya bermain Kunclungan di sungai yang jernih ini untuk menghilangkan kepenatan”. Jelas ibu tersebut.
Kunclungan itu apa ibu? Oh iya saya Alex cucu eyang Kinah” sahut Alex tersenyum.
Kunclungan itu permainan tradisional khas Banyumas Le, permainanya dilakukan dengan menepuk, meninju, dan mengaduk air sungai hingga mengeluarkan nada indah seperti tadi yang kamu dengar. Kalau kamu mau, ayo bergabung bersama kami setelah selesai aktivitas kami akan bermain Sripat Ajak ibu tersebut kepada Alex.
Alex mengangguk dan tersenyum, menyetujui untuk bergabung dengan orang-orang tersebut. Namun Alex bingung permainan apalagi yang orang dusun itu katakan, Sripat itu seperti apa? Gumam Alex dalam hati.
Orang dusun itu mengajak Alex mencari batu pipih yang berdiameter sekitar 3 sampai 4 sentimeter di sekitar bibir sungai. Alex belum tahu apa yang akan dilakukan dengan batu-batu tersebut, tapi ia tetap mengikuti mereka dengan rasa penasaran yang cukup tinggi. Setelah batu pipih itu terkumpul dan dirasa cukup untuk bermain, mereka mengajak Alex untuk bermain.
“ayo Le kita bermain Sripat, caranya kamu lempar batu-batu itu ke sungai tapi syaratnya batu itu harus terpantul-pantul di permukaan air, yang lemparan batunya menghasilkan pantulan terbanyak dia yang menang Le, contohnya seperti ini”. Ibu tersebut memperlihatkan cara bermain Sripat sambil melemparkan batu itu ke tengah dengan melemparkannya secara menyamping.
Alex melihatnya kemudian menirukannya. Berkali-kali ia gagal melempar untuk menghasilkan pantulan, namun dipandu oleh ibu tersebut akhirnya dia mengetahui trik untuk melempar supaya terpantul meski tak sebanyak pantulan yang ibu, nenek, dan anak itu lakulan.
Tiba-tiba Alex tersadar bahwa hari sudah menjelang sore. Tak terasa bermain di alam seperti ini sungguh mengasyikan hingga Alex melupakan niatnya untuk mandi. Lalu Alex bergeras mandi di sungai jernih itu. Setelah badannya segar, dia langsung kembali ke rumah. Di tengah perjalannya, Alex teringat tentang janjinya untuk bermain Gobak Sodor bersama Pardi, sebuah permainan yang juga belum iya ketahui seperti apa. Namun Alex memutuskan untuk pulang saja karena seharian ini dipenuhi dengan jalan-jalan, bermain, dan menemukan hal-hal baru di Kampung Panginyongan.
Beberapa saat kemudian, setelah berjalan lumayan jauh dari sungai Alex tiba di rumah dan bertemu dengan ayahnya.
            “Maafkan papah nak, karena bisnis papah yang bangkrut kamu jadi merasakan imbasnya” ucap ayahnya.
            “Awalnya aku memang merasa sangat kesepian dan ingin pulang ke Jakarta Pah, tapi hari ini cukup menghiburku dengan merasakan indahnya desa, aku berkenalan dengan banyak teman dan bermain banyak permainan tradisional Pah” cerita Alex pada ayahnya.
Kemudian ayahnya mengajak Alex untuk duduk bersama di teras dan ngobrol-ngobrol. Ayah Alex menceritakan masa kecilnya dulu di Kampung Panginyongan dan bagaimana dia tumbuh besar dengan berbagai permainan tradisional di sekelilingnya. Selain menceritakan keasyikan permainan tradisional, ayah Alex juga menceritakan tentang manfaat di balik permainan tradisional yang ada. Salah satunya ayah Alex menceritakan tentang permainan Gobak Sodor atau Galasin, permainan favoritnya waktu kecil yang ternyata bermanfaat untuk melatih kecerdasan anak untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan sesama. Intinya ayah Alex ingin menegaskan bahwa permainan tradisional itu bukan hanya sekedar permainan seperti permainan Alex di kota yang berkutat dengan dunia maya, tapi permainan tradisional juga melatih kecerdasan sosial seseorang.
Setelah beberapa lama bercerita dengan anaknya, ayah Alex mengelus kepala Alex dengan lembut sambil berkata, “ kelak saat kamu dewasa kamu akan tau makna di balik permainan tradisional yang kamu mainkan dengan suka ria di sini Nak, nah sekarang masuk ke rumah Nak sebentar lagi azan magrib berkumandang, tak baik anak-anak berada di luar rumah ketika Sandikala (sebutan waktu menjelang magrib di Jawa)”. Kemudian mereka masuk ke rumah bersama-sama.
Usai melaksanakan ibadah salat magrib berjamaah, seperti biasa keluarga Alex makan malam bersama di rumah dengan menu sederhana soto sokaraja khas Banyumas buatan neneknya, namun sangat terasa kehangatannya. Mereka makan malam sambil berbincang-bincang untuk menambah keakraban. Alex menceritakan semua yang dia alami hari ini pada seluruh anggota keluarga. Kemudian kakek Alex menyela “menyenangkan bukan Le suasana di kampung ini? Kalau kamu mau lihat lebih banyak lagi, besok ikut kakek di acara Grebeg Lesung, pasti akan lebih banyak hal yang mengasyikan lagi. Orang desa ini selalu mengadakan ritual ini secara rutin di setiap bulan Sura atau Tahun Baru Islam. Nanti di sana kamu bisa berkumpul dengan teman-teman baru dan mungkin juga bisa ikut berebut berbagai hasil bumi dalam ritual Grebeg Lesung”.
“hore, aku mau ikut eyang kakung”. Alex menyetujuinya dengan penuh antusias.
Tak lama kemudian azan isya berkumandang, kemudian mereka bergegas menyelesaikan makannya, membereskan tempat makan dan salat isya berjamaah. Alex menuruti apa yang dikatakan oleh sang kakek, kemudian ia masuk ke kamar. Alex memikirkan keindahan-keindahan yang ia alami hari ini dan membayangkan keindahan yang akan terjadi hari esok. Setelah rasa kantuknya begitu kuat, Alex membaca doa kemudian tidur.
Pagi yang cerah dengan matahari yang mengintip di balik bukit serta nyayian ayam jantan yang merdu bersahut-sahutan. Alex keluar dari kamar kemudian berlari ke sungai untuk mandi. Ia tak sabar untuk pergi ke tempat dilaksanakanya Grebeg Lesung yang diceritakan sang kakek semalam. Pagi ini wajahnya terlihat begitu riang, ia duduk di teras menunggu untuk di ajak kakeknya berangkat sambil bersenandung.
“Sudah rapi kamu Le, ayo kita berangkat. Nanti kakek akan menunjukan keindahan-keindahan desa ini padamu Le, uhuk.uhuk” ajak kakek yang kurang sehat hari ini.
Alex dan kakeknya berjalan kurang lebih sudah seratus meter dari rumah, kemudian melewati sebuah hutan yang terawat. Di tengah-tengah hutan itu Alex melihat sebuah telaga cantik yang memantulkan cahaya matahari pagi.
“Eyang kakung, cantiknya telaga yang kita lalui ini, apa namanya”? tanya Alex.
“Ini namanya Telaga Pucung Le” jawab kakek.
Alex sangat kagum dengan kecantikan alam Telaga Pucung yang begitu jernih dan dikelilingi hutan alami ini. Sesekali terdengar suara burung langka dari jawa yaitu Elang Jawa yang berputar-putar di atas telaga menunjukan kegagahanya atau bahkan terkadang terlihat sekilas monyet berwarna abu-abu atau biasa disebut rek-rek yang asyik bergelantungan dan bermain di antara pepohonan yang rindang. Bibir Alex tak henti-hentinya berdecak kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta alam semesta.
“Le, kamu kenapa? Jangan kawatir melewati hutan ini, hewan di sini tak akan mengganggu kita jika kita tak mengganggunya terlebih dahulu kok, tenang saja”. Papar sang kakek.
Alex hanya tersenyum, kakeknya tak tau apa yang dipikiran Alex. Alex bukan sedang kawatir namun ia sedang mengagumi ciptaan Tuhan.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh bagi kakek paruh baya dan anak kecil seperti Alex, akhirnya sampai juga mereka di tempat diadakanya Grebeg Lesung. Ternyata mereka terlalu bersemangat hingga ketika sampai di tempat tersebut ternyata panitia masih sibuk menyusun hasil bumi seperti sayur-mayur, bahan kebutuhan pokok, serta buah-buahan untuk dijadikan arak-arakan. Namun tak lama kemudian suasana di sana terlihat semakin ramai, orang-orang yang berdatangan semakin banyak dari berbagai penjuru desa untuk menyaksikan dan mengikuti ritual tahunan tersebut.
Setelah arak-arakan selesai dibuat dan warga yang menyaksikan sudah berkumpul banyak, ritual tersebut mulai dilaksanakan yaitu dengan membawa arak-arakan sejauh kurang lebih tiga kilometer menuju wilayah kaki Gunung Slamet. Alex dan kakeknya pun ikut berjalan mengarak dengan penuh suka cita sampai mereka lupa bahwa hari ini mereka belum sempat sarapan.
Setelah arak-arakan sampai di tempat tujuan, Alex dan sang kakek mengikuti acara ritual tersebut dengan hikmat. Mereka ikut mengamini doa yang dipanjatkan oleh sesepuh setempat yang ditunjuk memimpin doa, memanjatkan rasa syukur atas rejeki berupa hasil bumi yang melimpah serta berdoa agar seluruh masyarakat Banyumas diberikan keselamatan oleh Sang Hyang Agung.
Setelah acara doa selesai, Alex melihat berbagai acara yang telah dipersiapkan di sana. Kakek Alex mengajak Alex melihat hadrah yang merupakan kesenian islami dan kemudian menyaksikan penampilan kakeknya sebagai penabuh kentong, kesenian musik jawa. Alex berdiri melihat kakeknya, bertepuk tangan, bersorak-sorai, bahkan terkadang Alex menirukan gerakan tarian seperti sedang memukul alat musik kentong. Sungguh senang dan puasnya hari  ini bagi Alex yang untuk pertama kalinya melihat berbagai kesenian yang menakjubkan di Banyumas.
Usai acara hadrah dan kentongan, Alex dan kakek menungggu acara yang paling seru dalam ritual ini, yah tepat sekali masih ada acara tabuh lesung dan berebut hasil bumi yang paling ditunggu-tunggu. Ternyata acara tabuh lesung itu dimainkan oleh para ibu-ibu, Alex terkejut karena yang dilihatnya adalah para wanita yang sedang menumbuk-numbuk dengan tongkat kayu pada lesung. Mereka menari-nari sambil menumbuk-numbuk di lesung dengan penuh energik dan ceria sambil diiringi dengan alat musik tradisional lainya. Kemudian Alex melihat ada satu wanita yang berdandan dengan eloknya menggunakan kain jarik sebagai roknya dan berpakaian kebaya dengan konde yang besar di kepalanya. Wanita yang rupawan itu juga berjoget sambil bernyanyi jenis campursari khas banyumasan.
Raut wajah Alex terlihat letih, meski menikmati banyak keindahan budaya di sini ternyata ia merasa lapar dan ingin beristirahat. Tetapi masih ada acara terakhir yang akan dimulai. Kakek Alex bersiap-siap menggendong Alex di atas bahunya untuk bisa membantu Alex lebih cepat berebut isi arak-arakan tersebut. Saat perebutan arak-arakan dimulai, kakek Alex langsung berlari dan dengan sigap Alex mengambil beberapa buah-buahan dari arak-arakan tersebut. Kebetulan buah-buahan itu terletak paling atas, jadi dengan bantuan sang kakek Alex bisa dengan mudah menjangkaunya.
Selesai acara, mereka berdua berjalan dengan santai untuk mencari tempat di mana mereka bisa memakan hasil berebut tadi sambil melihat pemandangan yang indah di dataran tinggi tersebut. Akhirnya mereka menemukan tempat yang tepat di mana mereka bisa melihat air terjun yang indah dan pemandangan alam sekitar yang hijau. Mereka mengeluarkan buah-buahan hasil berebut dan mulai memakannya dengan sangat lahap karena perutnya memang sudah dalam keadaan keroncongan.
Seperti biasa, untuk menumbuhkan keakraban sang kakek makan sambil bercerita banyak hal kepada cucunya.
“Nah Le, inilah rangkaian acara grebek lesung yang kita nikmati barusan. Ritual ini bukan hanya sekadar arak-arakan dan penampilan budaya lek. Ritual ini punya makna yaitu dengan kita mendapatkan hasil bumi saat berebut tadi kita akan mendapatkan kemakmuran seperti kata bapak dari eyang kakung dulu”. Petuah sang kakek.
“Iya Yang, tapi Alex masih sedikit aneh Yang. kenapa ajaran Islam kok jadi bergabung sepeti itu ya sama tari-tarian dan arak-arakan”? Sahut Alex yang belum mengerti tentang wujud perayaan Tahun Baru Islam yang dia ikuti.
“Itulah Le yang namanya budaya, dulu sebelum datang Islam di Indonesia memang kepercayaan orang Indonesia terutama sebagian besar masyarakat di Banyumas ini adalah Hindu atau Budha. Biasanya orang menyebutnya kepercayaan Kejawen untuk ajaran Hindu Budha yang tersebar di Jawa Le, tapi setelah masuknya Islam di Indonesia terutama di hati dan kepercayaan masyarakat di sini, ya jadilah seperti itu Le, seperti perpaduan tentang nilai-nilai keislaman dengan keyakinan yang sudah masyarakat jaga sebelum masuknya islam”. Jelas sang kakek.
“berati masyarakat di sini belum Islam sepenuhnya ya Eyang”? Celetuk Alex yang masih bingung.
“Bukan begitu Le, apa yang ada dan kami jaga saat ini sebetulnya bukan lagi sebagai wujud perpaduan keyakinan, namun wujud dari budaya yang wajib kita jaga yang merupakan warisan dari leluhur Le. Sekarang kamu mengerti kan makna dari ritual ini? Budaya Grebeg Lesung ini juga salah satu wujud kekayaan yang wajib kita lestarikan Le” tegas sang kakek dengan lembut.
Alex mengangguk-angguk memahami petuah yang kakek berikan dan dari hati yang paling dalam akhirnya dia mensyukuri kedatangannya di Kampung Panginyongan hingga ia bisa mengenal berbagai bentuk budaya mulai dari permainan tradisional sampai ritual yang barusan ia jalani. Ternyata yang selama ini Alex jalani di kota telah keliru. Alex memang tetap berpikiran teknologi itu penting namun sekarang Alex juga menyadari untuk bisa lebih jauh mengenal budaya di Indonesia dan melestarikanya, karena seperti petuah kakeknya, budaya juga merupakan salah satu kekayaan dari Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar