KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK
Mekanisme
Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Membayar sendiri pajak yang
terutang:
1. Pembayaran angsuran PPh setiap
bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran
PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini
dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang
terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak
yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak
tersebut setiap bulan.
Khusus
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan
pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
*
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
(OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir
maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat
usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha
(omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
*
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha
Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya
sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak
x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
di
atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,- 15%
di
atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,- 25%
di
atas Rp 500.000.000,- 30%
Untuk
Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh
dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17
ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
Khusus
untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp
50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari
tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
2. Membayar
PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh
Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain
disini adalah:
o Pemberi penghasilan;
o Pemberi kerja; atau
o Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
Penjelasan
lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut
pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
*
Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang
ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor
atau nilai lainnya.
*
Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
o Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT).
Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah
dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya
kurang dari Rp1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya
kurang dari Rp1.000.000.000,-
o Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau
kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
Untuk dokumen yang menyebut jumlah di
atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar
Rp6.000,-.
2. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain
pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan
dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan
ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk
tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga
sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan
adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4
ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari
masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
1. PPh Pasal 21 adalah
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan.
Misalnya
pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi
kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang
bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai
pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan
bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
2. PPh Pasal 22 adalah
pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada
bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang
tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara
lain adalah:
*
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
*
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
* Pemungutan PPh atas produksi barang-barang
tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
*
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh
badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian
dan perikanan dari pedagang pengumpul;
*
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
Wajib
Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai
pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
3. PPh Pasal 23 adalah
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan
dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP
badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib
Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib
Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian
sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
Contohnya
adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa
service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak
berbentuk badan.
4. PPh Pasal
26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan
penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib
Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh
Pasal 26.
Contohnya
adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu
(royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
5. PPh Final
(Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan
pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan
pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa
konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
Yang dimaksud
final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan
atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya
sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak
Penghasilan pada SPT Tahunan.
Wajib
Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan
Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2).
Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan
objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja)
juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang
diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong
tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek
PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan
pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat
(2) tersebut.
6. PPh Pasal
15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi
penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan
khusus.
Wajib
Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan
international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak,
gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib
Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib
Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian
sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib
Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi
penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
7. PPN dan
PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau
Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian
barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha
Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang
memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau
pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib
Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang
diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga
wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha
Kena Pajak.
Apabila
pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan
ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan
jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat
Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan
dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP
tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan
pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang
tidak/belum dibayar.Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
1. Surat Teguran
diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran
Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
2. Surat Paksa
diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila
Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
3. Sita dilakukan
dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan
paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan
pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah
penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan
dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatif
dalam membayar hutang pajaknya.
sumber:http://apmadani.blogspot.com/2013/06/kewajiban-pembayaran-pajak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar