Tiwul identik dengan santapan harian
warga miskin di daerah tandus khususnya di
wilayah Gunungkidul dan sekitarnya. Namun, menu makanan yang terbuat dari
ubi kayu itu sesungguhnya adalah cara masyarakat untuk mempertahankan diri dari
ancaman kelaparan ketika musim kemarau berkepanjangan melanda.
Secara
topografis, daerah ini memiliki kondisi tanah yang kurang subur, cenderung
kering, dan berdaya dukung rendah untuk ditanami karena terdiri dari bebatuan
yang mudah terdegradasi. Kondisi topografis inilah yang memaksa penduduk
setempat bermata pencaharian sebagai petani lahan kering yang hanya bisa
menanam singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Singkong inilah yang diolah
menjadi tiwul atau gatot sebagai makanan pokok.
Tiwul adalah simbol ketahanan pangan
dan semangat gotong-royong warga Kalisonggo. Tanah Kalisonggo yang tandus
membuat warga tidak bisa menanam padi. Mereka harus membeli beras jika ingin
makan nasi. Padahal, penghasilan mereka yang rata-rata hanya lulusan SMP tak
seberapa. Kebanyakan mengandalkan lahan yang hanya dapat ditanami palawija,
seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah. Panen palawija paling banyak dua
kali dalam setahun. Itu pun jika curah hujan cukup banyak.
Pada musim kemarau, mereka menanam singkong
yang harga jualnya tak
lebih dari Rp2.000 per kilogram. Sebagian besar
singkong hasil panen dikonsumsi sendiri, dan diolah menjadi tiwul.
Sepanjang musim panas dimanfaatkan
untuk membuat tiwul sebagai persediaan berbulan-bulan, bahkan setahun. Karena pembuatan
tiwul membutuhkan sinar matahari berlimpah. Singkong yang sudah dikupas,
dijemur hingga kering menjadi gaplek. Setelah dicuci, lantas ditumbuk menjadi
tepung dan disimpan. Tepung ini dikukus menjadi tiwul.
Untuk membuat tiwul juga tidak
dilakukan sendiri, tetapi bergotong-royong, setidaknya untuk mengupas singkong.
Misalnya, 15 perempuan membantu orang yang sudah sepuh. Sedang lain waktu, jika ada
warga lain yang membutuhkan bantuan, mereka akan membantu warga tersebut. Pada awalnya, gaplek hanya untuk dibuat tiwul. Gaplek
yang baik untuk dibuat tiwul adalah gaplek yang berwarna putih. Namun, proses
pembuatan geplek tidak selamanya akan menghasilkan warna putih, tetapi
terkadang juga berwarna hitam karena proses pengeringannya kurang bagus akibat
terkena air hujan. Daripada dibuang, warga Gunungkidul mencoba memasak atau
mengukus gaplek yang berwarna hitam ini menjadi gatot. Belum ditemukan data
yang menjelaskan tentang mengapa makanan ini dinamakan gatot.
Kepala Program Studi Agribisnis
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo Kusnandar menuturkan, kandungan
karbohidrat tiwul sebenarnya tidak kalah dari beras sehingga bisa menggantikan
beras sepenuhnya. Hanya perlu dilengkapi dengan lauk-pauk dan sayur lain yang
bergizi, yang bisa bersumber dari pangan lokal. Sayangnya, tiwul dan aneka
pangan lokal lain yang bisa menjadi alternatif pengganti beras, seperti sagu
dan jagung, selama ini dipersepsikan salah sebagai pangan orang yang
kekurangan.
Sekarang bagaimana cara kita untuk
tidak berketergantungan kepada beras? Persoalan beras jika hanya
bertumpu pada peningkatan produksi adalah suatu upaya sangat berat dan
memerlukan pendanaan sangat mahal.Oleh karena itu solusi terbaik selain
perhatian pada produksi adalah dengan menurunkan tingkat konsumsi beras per
kapita penduduk Indonesia yang saat ini termasuk kategori tertinggi di dunia.
Program diversifikasi pangan
sudah dicanangkan sejak era Orde Baru dan sampai saat ini pun program ini tetap
dilaksanakan, hanya pertanyaannya sejauh mana keberhasilan program ini? Memang
ada kecenderungan penurunan konsumsi beras, tetapi perubahan ini karena
konsumen ternyata beralih ke pangan berbahan baku terigu, yang jika dibiarkan
terus berlangsung maka seperti kata pepatah ”keluar dari mulut singa, masuk ke
mulut buaya”. Bukannya memperkecil persoalan pangan, tetapi justru memperparah
ketahanan pangan dalam negeri.
Harus diakui di masyarakat kita
masih ada pandangan bahwa miskin atau tidaknya seseorang tercermin dari apa
yang dia makan. Di Indonesia, jika seseorang makan nasi maka citranya lebih
kaya, lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang makan ubi, jagung, atau
sagu.
Faktor citra inilah pula yang
kemudian menyebabkan peralihan pangan karbohidrat kita dari beras ke pangan
berbasis terigu, yang dipandang lebih bergengsi. Pangan berbasis terigu ini
terkesan lebih ”elite” dan pengkonsumsinya merasa strata sosialnya meningkat
kalau memakan makanan berbahan terigu seperti burger, pizza, spaghetti, dan
roti (terutama roti bikinan bakery asing).
Hal inilah yang menjadi PR bagi para petinggi kita. Masyarakat
mengharapkan agar pemerintah lebih bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.
Sebenarnya kita tidak perlu impor bahan makanan pokok ketika harga beras sedang
naik, karena di Negara kita sendiri sejak dulu sudah memiliki banyak
alternative bahan makanan pokok, tiwul misalnya. Dengan begitu ketahanan
nasional kita dibidang pangan lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar