Jumat, 05 Desember 2014

GATOT TIWUL SIMBOL KETAHANAN PANGAN KABUPATEN GUNUNG KIDUL



Tiwul identik dengan santapan harian warga miskin di daerah tandus khususnya di wilayah Gunungkidul dan sekitarnya. Namun, menu makanan yang terbuat dari ubi kayu itu sesungguhnya adalah cara masyarakat untuk mempertahankan diri dari ancaman kelaparan ketika musim kemarau berkepanjangan melanda.
Secara topografis, daerah ini memiliki kondisi tanah yang kurang subur, cenderung kering, dan berdaya dukung rendah untuk ditanami karena terdiri dari bebatuan yang mudah terdegradasi. Kondisi topografis inilah yang memaksa penduduk setempat bermata pencaharian sebagai petani lahan kering yang hanya bisa menanam singkong, jagung, dan kacang-kacangan. Singkong inilah yang diolah menjadi tiwul atau gatot sebagai makanan pokok.
Tiwul adalah simbol ketahanan pangan dan semangat gotong-royong warga Kalisonggo. Tanah Kalisonggo yang tandus membuat warga tidak bisa menanam padi. Mereka harus membeli beras jika ingin makan nasi. Padahal, penghasilan mereka yang rata-rata hanya lulusan SMP tak seberapa. Kebanyakan mengandalkan lahan yang hanya dapat ditanami palawija, seperti jagung, kedelai, dan kacang tanah. Panen palawija paling banyak dua kali dalam setahun. Itu pun jika curah hujan cukup banyak.
Pada musim kemarau, mereka menanam singkong yang harga jualnya tak lebih dari Rp2.000 per kilogram. Sebagian besar singkong hasil panen dikonsumsi sendiri, dan diolah menjadi tiwul.
Sepanjang musim panas dimanfaatkan untuk membuat tiwul sebagai persediaan berbulan-bulan, bahkan setahun. Karena pembuatan tiwul membutuhkan sinar matahari berlimpah. Singkong yang sudah dikupas, dijemur hingga kering menjadi gaplek. Setelah dicuci, lantas ditumbuk menjadi tepung dan disimpan. Tepung ini dikukus menjadi tiwul.
Untuk membuat tiwul juga tidak dilakukan sendiri, tetapi bergotong-royong, setidaknya untuk mengupas singkong. Misalnya, 15 perempuan membantu orang yang sudah sepuh. Sedang lain waktu, jika ada warga lain yang membutuhkan bantuan, mereka akan membantu warga tersebut. Pada awalnya, gaplek hanya untuk dibuat tiwul. Gaplek yang baik untuk dibuat tiwul adalah gaplek yang berwarna putih. Namun, proses pembuatan geplek tidak selamanya akan menghasilkan warna putih, tetapi terkadang juga berwarna hitam karena proses pengeringannya kurang bagus akibat terkena air hujan. Daripada dibuang, warga Gunungkidul mencoba memasak atau mengukus gaplek yang berwarna hitam ini menjadi gatot. Belum ditemukan data yang menjelaskan tentang mengapa makanan ini dinamakan gatot.
Kepala Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Solo Kusnandar menuturkan, kandungan karbohidrat tiwul sebenarnya tidak kalah dari beras sehingga bisa menggantikan beras sepenuhnya. Hanya perlu dilengkapi dengan lauk-pauk dan sayur lain yang bergizi, yang bisa bersumber dari pangan lokal. Sayangnya, tiwul dan aneka pangan lokal lain yang bisa menjadi alternatif pengganti beras, seperti sagu dan jagung, selama ini dipersepsikan salah sebagai pangan orang yang kekurangan.
Sekarang bagaimana cara kita untuk tidak berketergantungan kepada beras? Persoalan beras jika hanya bertumpu pada peningkatan produksi adalah suatu upaya sangat berat dan memerlukan pendanaan sangat mahal.Oleh karena itu solusi terbaik selain perhatian pada produksi adalah dengan menurunkan tingkat konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia yang saat ini termasuk kategori tertinggi di dunia.
Program diversifikasi pangan sudah dicanangkan sejak era Orde Baru dan sampai saat ini pun program ini tetap dilaksanakan, hanya pertanyaannya sejauh mana keberhasilan program ini? Memang ada kecenderungan penurunan konsumsi beras, tetapi perubahan ini karena konsumen ternyata beralih ke pangan berbahan baku terigu, yang jika dibiarkan terus berlangsung maka seperti kata pepatah ”keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Bukannya memperkecil persoalan pangan, tetapi justru memperparah ketahanan pangan dalam negeri.
Harus diakui di masyarakat kita masih ada pandangan bahwa miskin atau tidaknya seseorang tercermin dari apa yang dia makan. Di Indonesia, jika seseorang makan nasi maka citranya lebih kaya, lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang makan ubi, jagung, atau sagu.
Faktor citra inilah pula yang kemudian menyebabkan peralihan pangan karbohidrat kita dari beras ke pangan berbasis terigu, yang dipandang lebih bergengsi. Pangan berbasis terigu ini terkesan lebih ”elite” dan pengkonsumsinya merasa strata sosialnya meningkat kalau memakan makanan berbahan terigu seperti burger, pizza, spaghetti, dan roti (terutama roti bikinan bakery asing).
Hal inilah yang menjadi PR bagi para petinggi kita. Masyarakat mengharapkan agar pemerintah lebih bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan. Sebenarnya kita tidak perlu impor bahan makanan pokok ketika harga beras sedang naik, karena di Negara kita sendiri sejak dulu sudah memiliki banyak alternative bahan makanan pokok, tiwul misalnya. Dengan begitu ketahanan nasional kita dibidang pangan lebih kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar