Jumat, 05 Desember 2014

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Dalam upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pembiayaan kegiatan dimaksud penting dalam peningkatan kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembangunan.

Penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945, antara lain, menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain – liannya, harus ditetapkan dengan Undang – Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan, yang menempatkan beban kepada rakyat, juga harus didasarkan pada Undang – Undang.

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan Negara di luar penerimaan perpajakan, penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang – undangan di bidang perpajakan. Selain ini, penerimaan Negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang didalamnya terkandung unsur pajak dan royalty, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dirumuskan dalam Undang –undang ini mencakup segala penerimaan Pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan tersebut.

Ketentuan perundang – undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku selama ini meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga mengakibatkan kekurang tertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukab Pajak. Oleh karena itu sudah saatnya untuk membentuk Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sebelum adanya Undang-Undang perbendaharaan yang baru sebagai pengganti Indische Comptabllitietswet (Staatsblad Nomor 448 Tahun 1925), ketentuan yang berkaitan dengan sistem perbendaharaan yang diatur dalam Indische Comptabllitietswet (Staatsblad Nomor 448 Tahun 1925) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1968 masih tetap menjadi bahan pertimbangan.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan perumusan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah :

a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara;

b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

c. Menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi diseluruh wilayah Indonesia;

d. Menunjang upaya terciptanya aparat pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyerdehanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.

Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak

Peranan PNBP dalam APBN dari tahun ke tahun semakin meningkat. Meningkatnya peranan ini bukan hanya semata dari angka-angka statistik saja. Tetapi juga bagaimana PNBP dapat mendorong pemberian pelayanan publik yang semakin berkualitas. Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak berdasarkan Pasal (1) angka (1) Undang-undang nomor 20 Tahun 1997 yang dimaksud dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Kelompok (jenis) Penerimaan Negara Bukan Pajak (Pasal 2) meliputi :

1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain berupa penerimaan jasa giro, sisa angggaran pembangunan dan sisi anggaran rutin;

2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam antara lain berupa, royalty dibidang perikanan, Kehutanan dan pertambangan;

3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan antara lain berupa dividen, bagian laba Pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan saham pemerintah;

4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah antara lain berupa pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan negara yang tidak dipisahkan;

5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi antara lain berupa lelang barang rampasan Negara dan denda;

6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah antara lain berupa hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun Pemerintah yang menjadi hak Pemerintah; dan

7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.



Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Selanjutnya diatur pula bahwa Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dalam undang-undang atau Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu penetapan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak memerlukan pertimbangan yang secermat mungkin agar pembebanannya kepada masyarakat wajar dan memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan oleh dunia usaha.

Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara dan dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ketentuan ini merupakan prinsip Pokok dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapakan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1997. Penagihan dan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dilakukan oleh Instansi Pemerintah atas penunjukkan Menteri Keuangan. Penunjukan ini sehubungan dengan keterkaitan antara Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah (Kementerian dan Lembaga) yang bersangkutan.

Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 1997, PNBP meliputi penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam, penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, penerimaan hibah yang merupakan hak Pemerintah, dan penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam struktur APBN, penerimaan PNBP dikategorikan dalam penerimaan sumber daya alam, penerimaan bagian laba BUMN, dan PNBP lainnya. Penerimaan sumber daya alam (SDA) meliputi, penerimaan dari minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sedangkan PNBP lainnya meliputi pendapatan dari penjualan, sewa, jasa, PNBP dari luar negeri, kejaksaan dan peradilan, pendidikan, pelunasan piutang, pendapatan lainnya dari kegiatan usaha migas, dan pendapatan lain-lain.

Besaran penerimaan PNBP secara historis didominasi oleh PNBP sumber daya alam (SDA), khususnya minyak dan gas alam. PNBP yang bersumber dari berbagai departemen dan kementerian meskipun punya kecenderungan meningkat, namun memiliki besaran penerimaan yang relatif kecil. Pemungutan PNBP di berbagai sektor dan departemen tersebut dilakukan dalam rangka pengaturan, pelayanan, dan pengawasan. Besaran PNBP Migas sangat tergantung dari lifting minyak dan harga internasional, baik minyak bumi dan gas alam. Disamping itu, besaran PNBP migas juga dipengaruhi oleh proporsi bagian pemerintah yang tercantum dalam kontrak dengan investor. Besaran penerimaan PNBP SDA di luar migas, yakni pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan dipengaruhi oleh masing-masing produksi dalam hal pertambangan umum, jumlah areal produksi hasil hutan (kehutanan) dan sasaran volume penangkapan ikan untuk perikanan. Disamping volume produksi, maka besaran tarif dan pungutan lainnya berpengaruh pada besaran PNBP tersebut. Sementara itu, beberapa PNBP non-SDA utama antara lain berasal dari bagian laba dari BUMN, Telekomunikasi, Kepolisian, Pendidikan, Kesehatan, Perhubungan, Imigrasi dan lain-lain. Besaran jumlah penerimaan PNBP non-SDA tergantung dari subjek, objek dan tarif PNBP. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, maka sebagian penerimaan PNBP tersebut dipergunakan kembali oleh Kementerian/Lembaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar